PROBLEMATIKA SOSIAL MASYARAKAT LAMONGAN KOTA
Masyarakat perkotaan
seringkali memiliki problematika sosial yang menarik untuk dikaji lebih dalam
.Begitu pula dengan kehidupan masyarakat Lamongan kota yang notabene di
dalamnya pasti terdapat berbagai macam problematika sosial yang patut di
pelajari menyangkut identitas lokal,toleransi,semangat kebersamaan dan
pengamalan nilai – nilai pancasila dalam kehidupan bermasyarakat .Hal ini dapat
kita analisa secara langsung dari pola – pola interaksi dan kehidupan bermasyarakat
dan bernegara dari lingkup wilayah Lamongan kota itu sendiri.
Sebagian orang berpendapat
bahwa Kabupaten Lamongan saat ini telah mengalami perkembangan yang cukup baik,
tetapi manakala dicermati sebenarnya roda pembangunan yang sedang digelindingkan
sekarang ini tidak semuanya diimbangi dengan upaya-upaya antisipatif sebagai
konsekuensi logisnya.Hal ini tentu saja berakibat pada munculnya berbagai macam
problematika sosial di sebagian besar masyarakat Lamongan,dan khususnya wilayah
Lamongan kota.Hal pertama dikaji dalam masalah ini adalah menyangkut identitas
lokal masyarakat Lamongan itu sendiri.Hal ini dapat kita telisik dari arti
sasanti atau slogan kabupaten Lamongan yaitu “ Memayu Raharjaning Praja “ yang
mengandung pengertian ( berusaha dengan sungguh – sungguh untuk mencapai
kesejahteraan negara) .Yang apabila kita uraikan lebih dalam mengenai arti kata
tersebut berarti : “Memayu”
sama dengan “hanggayu”, yang berarti berusaha dengan bersungguh-sungguh dan
kerja keras untuk mencapai tujuan yang tinggi, mulia, atau besar.”Raharja”
berarti Sejahtera, serba berkecukupan, senang dan tenteram lahir batin, juga
jaya. Imbuhan “Ing”, atau kata “Ning” berarti ada atau nyata pada tempatnya.
“Praja” berarti Negara atau bagian dari wilayah Negara.Dalam prakteknya mungkin ada hal yang positif mengenai wujud pengamalan sasanti ini yaitu berupa pembangunan – pembangunan infrastuktur fasilitas layanan untuk masyarakat yang semakin pesat dan mendekati kesempurnaan seperti perbaikan jalan raya yang rusak,renovasi pasar tradisional,dan sebagainya.Namun tampaknya bila diteliti dari segi sosial kemasyarakatan,rupanya sasanti ini hanya sebuah pajangan pada pintu masuk suatu gang saja.Faktanya masih banyak masyarakat Lamongan kota yang tidak dapat menikmati kesejahteraan itu sendiri.Kemiskinan ,habisnya alokasi air pada musim kemarau ,pendidikan yang masih carut – marut ,tingginya angka kejahatan,dan masih banyak yang lainnya.
“Praja” berarti Negara atau bagian dari wilayah Negara.Dalam prakteknya mungkin ada hal yang positif mengenai wujud pengamalan sasanti ini yaitu berupa pembangunan – pembangunan infrastuktur fasilitas layanan untuk masyarakat yang semakin pesat dan mendekati kesempurnaan seperti perbaikan jalan raya yang rusak,renovasi pasar tradisional,dan sebagainya.Namun tampaknya bila diteliti dari segi sosial kemasyarakatan,rupanya sasanti ini hanya sebuah pajangan pada pintu masuk suatu gang saja.Faktanya masih banyak masyarakat Lamongan kota yang tidak dapat menikmati kesejahteraan itu sendiri.Kemiskinan ,habisnya alokasi air pada musim kemarau ,pendidikan yang masih carut – marut ,tingginya angka kejahatan,dan masih banyak yang lainnya.
Kabupaten Lamongan masih banyak
menyimpan identitas lokal yang menarik untuk dikaji lebih dalam yaitu makanan
khas ,tarian tradisional,pertunjukkan daerah,lambang kabupaten,dan
sebagainya.Namun yang menjadi pertanyaan mendasar dalam hal ini adalah mengenai
perwujudan arti lambang kabupaten itu sendiri dalam kaitannya dengan upaya
kesejahteraan masyarakat yaitu : masih relevankah arti lambang kabupaten
tersebut dalam prakteknya bagi kehidupan masyarakat Lamongan kota itu
sendiri?.Saya menilai bahwa pengamalan arti lambang kabupaten itu tidak
sepenuhnya relevan .Karena dalam kenyataannya terdapat problematika sosial
masyarakat yang setelah diamati hal itu bersumber pada lemahnya toleransi
bermasyarakat,kurangnya semangat kebersamaan dan semakin pudarnya nilai – nilai
pancasila.Jika selama ini ada pernyataan bahwa kota Lamongan merupakan kota
yang agamis ,maka hal itu memang benar.Tetapi dalam prakteknya masih banyak
dijumpai masyarakat yang tidak mengerti atau awam dengan perwujudan nilai –
nilai keagamaan yang menganjurkan pada pemeluknya untuk menerapkan toleransi
dan semangat kebersamaan dalam kehidupan sehari – hari.
Di wilayah
Lamongan kota sendiri tidak berarti bahwa nilai – nilai toleransi dan
kebersamaan itu pudar begitu saja.Ada sebagian kelurahan yang masih memegang teguh
prinsip toleransi dan kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari.Contohnya di
Kelurahan Tlogo anyar,dalam kehidupan sosial masyarakatnya jarang terlibat
persengketaan antar tetangga,ada program bersih lingkungan setiap minggu,ada
pengajian ibu – ibu PKK setiap bulan,masih menjunjung tradisi syukuran atau
selamatan yang turut mengundang tetangga dan kerabat ,dan masih banyak yang
lain.Tetapi,hal tersebut berbanding terbalik dengan kompleks perumahan elite di
kawasan kelurahan Jetis yang umumnya dihuni oleh kaum birokrat,guru,pengusaha
dan pegawai negeri.Suasana indah toleransi dan semangat kebersamaan dirasa
kurang pada kawasan tersebut.Hal ini dapat di amati dari bangunan rumah dengan
pagar yang tinggi menjulang pada sebagian besar rumah mereka,dari hal ini saja
kita sudah bisa memastikan bahwa toleransi dan semangat kebersamaan mereka
sangat kurang.Sebagian berpendapat hal itu sekedar upaya pengamanan rumah
mereka dari pencuri yang ingin menjarah harta mereka.Pernah suatu ketika saya
bertanya pada salah seorang teman yang kebetulan rumahnya berada di kawasan
perumahan Jetis itu mengenai salah seorang teman SMP saya yang juga tinggal di
kawasan tersebut bahkan satu gang dengannya.Namun ternyata ia samasekali tidak
mengenal orang tersebut bahkan ia pun baru tahu bahwa ada tetangganya yang
merupakan teman SMP saya.Tidak hanya itu semangat kebersamaan mereka pun bisa
terbilang nol.Karena saya seringkali lewat di perumahan tersebut ketika pulang
atau pergi ke sekolah dan suasana gang itu amat sepi dan biasanya mereka
berkendaraan mobil jika berangkat kerja.Hal ini disebabkan tidak adanya waktu
yang luang bagi mereka untuk sekedar bersosialisasi dengan tetangga ,karena
pagi mereka bekerja dan malam mereka beristirahat maka otomatis mereka
cenderung individual dan acuh pada aktifitas tetangga.Dan tentu saja semua ini
kembali pada budaya materialistik,konsumerisme dan kapitalisme yang semakin
menunjang pudarnya nilai – nilai identitas nasional Indonesia.Saya Menemukan
sebuah fakta lagi bahwa masyarakat di Lamongan kota terdapat pengkotakan –
pengkotakan stratifikasi sosial.Masyarakat berekonomi menengah kebawah biasanya
mengelompok di kawasan Lamongan kota sebelah selatan dan utara alon – alon
kota,masyarakat ekonomi atas mengelompok di kawasan timur alon-alon kota,sedang
masyarakat keturunan Tionghoa yang tergolong minoritas mengelompok di sebagian
wilayah timur dan barat alon-alon kota.Hal ini tentu saja menimbulkan
kesenjangan sosial bagi sebagian penduduk yang tergolong minoritas,terutama
keturunan Tionghoa.Mereka seakan tidak diperkenankan untuk ikut andil dan
bersosialisasi dengan masyarakat yang lainnya.
Ternyata tidak
hanya identitas lokal,kurangnya toleransi dan pudarnya semangat kebersamaan
saja ,tetapi ada yang lebih penting lagi yaitu mulai hilangnya nilai – nilai
pancasila.Terutama sila ke- 2,4 dan 5.Adanya penyimpangan sosial yang terjadi
akibat pelanggaran terhadap sila ini adalah : untuk sila ke-2 masih banyak di
Lamongan kota kaum fakir miskin yang taraf hidupnya kurang mendapat perhatian
dari pemerintah kota ,sehingga konsekuensinya adalah sering kali terjadi
berbagai macam tindak kejahatan di Lamongan kota seperti
pencurian,curanmor,perampokan,pencopetan dsb.Serta seringakali terjadi tindak
kekerasan dalam kehidupan bermasyarakat ,umumnya hal ini dilakukan oleh kaum
remaja pecinta sepak bola (suporter) yang kurang sportif dalam suatu event
pertandingan di Stadion Surajaya .Sehingga hal ini tentu saja merugikan berbagai
pihak antara lain jatuhnya korban jiwa dan kerusakan pada arena stadion itu sendiri.Tidak hanya itu pelanggaran
terhadap sila ke-4 juga menimbulkan suatu problematika tersendiri bagi sebagian
kecil masyarakat Lamongan kota yang terdiri dari kaum birokrat atau pejabat
daerah.Mereka sebagai wakil rakyat tentunya dituntut untuk menunjukkan teladan
yang baik bagi penerus perjuangan bangsa.Tetapi faktanya mereka cenderung tidak
bijaksana dan kurang amanah dalam menjalankan tugas pokok tersebut.Seringkali
dijumpai pada rapat – rapat umum DPRD ,para pejabat itu sering absen bahkan tak
jarang juga dari mereka yang datang tetapi ujung- ujungnya tidur di kursi empuk
atau malah tidak tahu menahu tentang permasalahan apa yang sedang dibahas dalam
rapat tersebut.Fakta ini saya dapatkan langsung dari siaran televisi lokal
daerah Lamongan yang secara eksklusif meliput berita tentang jalannya rapat
tersebut .Sungguh ironis memang namun inilah fakta langsung di lapangan yang
tidak bisa terbantahkan.
Pelanggaran
terhadap sila ke -5 ini memang umumnya
sudah terjadi di se-antero wilayah
Indonesia.Memang benar jika kita mengulas tentang suatu plesetan yang
menyatakan bahwa sila ke -5 pancasila adalah ” keadilan sosial bagi sebagian
rakyat Indonesia”, begitu juga kiranya fakta yang terjadi pada kehidupan sehari
– hari masyarakat Lamongan kota.Notabene yang berkuasa dan andil dalam mengisi
kursi kekuasaan daerah adalah kaum pengusaha dan masyarakat bertaraf ekonomi
level atas .Tentu saja hal ini dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang
berkepanjangan,sehingga tak jarang dari mereka rela menghabiskan hartanya untuk
memperoleh kursi sebagai pejabat daerah.Dan ujung – ujungnya jika hal ini
terjadi maka kecurangan – kecurangan
memanipulasi anggaran daerah menjadi alternatif bagi mereka untuk
mengembalikan modal yang terpakai untuk kampanye kemarin.Bukan hanya itu,rupanya
masyarakat keturunan Tionghoa juga tidak diberi andil dalam ikut serta mengisi
kursi pemerintahan daerah.Mereka yang notabene mata pencahariannya sebagai
pedagang tentunya termasuk dalam taraf ekonomi level atas.Namun ternyata hal
itu tidak berpengaruh karena terdapat diskriminasi etnis dalam kehidupan
bermasyarakat Lamongan kota.Suatu hal yang ironis memang jika di zaman modern
dan gencar-gencarnya era globalisasi merambah nusantara tetapi di semua lini
kehidupan malah terjadi berbagai macam problematika sosial yang sulit
dipecahkan. Sebenarnya solusi konkrit dari pemecahan masalah ini adalah hendaknya
kita saling sadar diri dan sering – sering menginstropeksi diri kita sebelum
menyalahkan orang lain.Mungkin saja dengan langkah tersebut kita jadi lebih
bijak memaknai hidup dan tidak gegabah mengambil keputusan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar