Sabtu, 19 Mei 2012

KEKUATAN-KEKUATAN POLITIK PADA KERAJAAN BERCORAK BUDHA


KEKUATAN-KEKUATAN POLITIK PADA KERAJAAN BERCORAK BUDHA


PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah

Perjalanan sejarah Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan pengaruh perkembangan agama Budha pada zaman kuno periodisasi sejarah Indonesia.Akibat perdagangan dan pelayaran orang-orang India khususnya para biksu atau pendeta agama Budha yang datang dengan tujuan ganda untuk berdagang dan menyebarkan agama Budha telah melahirkan kerajaan-kerajaan bercorak Budha di Indonesia .
Sejalan dengan berdirinya kerajaan-kerajaan bercorak Budha di Indonesia .Secara tidak langsung dalam pemerintahan kerajaan-kerajaan tersebut terdapat kekuatan-kekuatan politik yang merupakan ciri khas dari masing-masing kerajaan sebagai upaya untuk hegemoni politik dan perluasan wilayah kekuasaan serta demi kesejahteraan rakyat pada kerajaan tersebut.Kekuatan-kekuatan politik yang mereka bangun untuk kesejahteraan negeri tentu saja tidak terlepas dari peran Negara-negara tetangga khususnya kerajaan-kerajaan di wilayah Asia Tenggara dan terlebih khusus lagi peran kekaisaran Cina dan India yang turut serta mendukung terlaksanya kekuatan politik yang berlangsung.
Pengetahuan tentang sistem politik dan perkembangan kerajaan Budha di Indonesia tampaklah sangat jarang dikaji oleh sejarawan Indonesia.Hal ini dikarenakan sumber sejarah yang didapat sangatlah sulit dan tidak jelas.Belum lagi diketahui bahwa hanya empat kerajaan yang berkembang di Nusantara yang memiliki corak sebagai kerajaan Budha.
Diharapkan setelah dipaparkan lebih rinci mengenai sumber sejarah,perkembangan kerajaan dan kekuatan-kekuatan politik pada kerajaan bercorak Budha ini semakin menambah pengetahuan tentang sejarah kerajaan bercorak Budha pada umumnya.

1.2  Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam makalah ini adalah :

1.      Bagaimana proses masuknya pengaruh agama Budha di Indonesia?
2.      Bagaimana  perkembangan kerajaan-kerajaan Budha yang ada di Indonesia?
3.      Bagaimana kekuatan-kekuatan politik pada kerajaan-kerajaan bercorak Budha di Indonesia?





1.3  Tujuan dan Manfaat

Adapun tujuan dan manfaat dalam makalah ini adalah :

1.      Mengetahui proses masuknya pengaruh agama Budha di Indonesia
2.      Mendeskripsikan perkembangan kerajaan-kerajaan Budha yang ada di Indonesia
3.      Mendeskripsikan kekuatan-kekuatan politik pada kerajaan-kerajaan bercorak Budha di Indonesia





























PEMBAHASAN

2.1 Proses Masuknya Pengaruh Budha di Indonesia
A. Sejarah Lahirnya Agama Budha
Pada mulanya agama Budha bukanlah agama, dalam arti adanya Tuhan atau Dewa yang dipuja, melainkan suatu ajaran yang bertujuan membebaskan manusia dari lingkaran samsara      ( moksa ). Pada mulanya Budha merupakan salah satu sekte yang ada pada kepercayaan Hindu,kedudukannya sama dengan ajaran-ajaran lainnya seperti Wedanta,Samkhya dan Yoga. Agama Budha merupakan agama yang inti ajarannya sangat berbeda dengan kepercayaan awal Hindu.Dalam agama Budha terdapat sebuah kitab suci yang bernama Tripittaka dan bahasa yang digunakan bukanlah bahasa Sanskerta seperti pada kitab Weda, melainkan bahasa Pali yang pada mulanya merupakan bahasa rakyat daerah Magandha.
Pendiri agama Budha adalah seorang anak raja yang bernama Siddhartha Gautama. Siddhartha dilahirkan di Taman Lumbini dekat ibukota kerajaan keluarga Cakya, Kapilawastu pada tahun 563 SM. Ketika ia lahir,para ahli nujum raja meramal bahwa kelak dikemudian hari Siddhartha akan menjadi penguasa dunia, tetapi terdapat dua kemungkinan yang belum pasti yaitu antara menjadi cakrawartin(raja besar) atau Buddha.Akhirnya setelah besar ternyata Siddharta memilih untuk meninggalkan istana dan mengabaikan kemewahan,istri serta anaknya.Ia kemudian mengembara sebagai pendeta dan mencari pengetahuan sejati akan makna hidup.Hingga akhirnya ia bersemedi di bawah pohon dan berhasil melewati masa-masa sulit serta menjadi Buddha.Kemudian selama 45 tahun ia menyebarkan ajarannya dan akhirnya berhasil mendapat pengikut yang besar dari segaa lapisan masyarakat.Hal ini dikarenakan agama Budha sepeninggal Siddhartha ,agama Budha terbagi menjadi dua macam aliran yaitu:
  1. Budha Hinayana, yaitu setiap orang dapat mencapai nirwana atas usahanya sendiri. 
  2. Budha Mahayana, yaitu orang dapat mencapai nirwana dengan usaha bersama dan saling membantu.


 B. Proses Masuknya Pengaruh  Budha ke Indonesia
            Menurut beberapa ahli menyatakan bahwa masuknya pengaruh Budha ke Indonesia hampir bersamaan dengan masuknya pengaruh Hindu di Indonesia.Hal ini dapat diketahui bahwa meski pengaruh Budha tidak begitu kuat pada kebudayaan dan system politik pada kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia,namun pengaruh Budha merupakan salah satu pendukung penulisan sejarah Indonesia jaman kuno.
            Pendapat mengenai proses masuknya pengaruh Budha di Indonesia datang dari seorang sejarawan yang bernama Bosch yang mengamatinya dari sifat unsure-unsur budaya India yang tercermin dalam budaya Indonesia,ia berpendapat hanya golongan cendekiawan yang dapat menyampaikan ajaran kepada bangsa Indonesia.Golongan cendekiawan itu disebut “clerks” yang berproses pada dua jenis proses.Proses pertama adalah melalui pendeta agama Budha.Hal ini dapat dilihat karena awal hubungan dagang antara Indonesia dan India bertepatan pula dengan perkembangan yang pesat dari agama Budha.
            Pendeta-pendeta agama tersebut menyebar ke seluruh penjuru dunia melalui jalan-jalan perdagangan tanpa menghiraukan kesulitan-kesulitannya.Mereka mendaki pegununngan Himalaya untuk menyebarkan agamanya di Tibet,China dan negara-negara di asia yang lain dengan jalan mengadakan hubungan yang baik dengan kalangan istana serta mengajarkan agama mereka.Kemudian dibentuklah sebuah sanggaha dengan biksu-biksunya.Dalam hal ini dengan datangnya biksu-biksu dari India ke negeri-negeri di luar India ternyata mengandung arus biksu tersebut untuk menuntut ilmu agama Budha di India.Teori ini disebut teori arus balik. Dalam penelitian yang dilakukan Bosch terdapat kesimpulan bahwa ternyata baik di Indonesia maupun di Asia Tenggara lainnya telah tumbuh seni agama Budha yang jelas bercorak nasional.Gejala yang tampak pada seni budaya ini kemudian berdampak pula pada bidang-bidang lain akibat pengaruh agama Budha.  
Pengaruh Budha di Indonesia tampak pada munculnya kerajaan-kerajaan yang bercorak Budha.Pada perkembangan pengaruh Budha, sistem  paling mencolok pada sistem kemasyarakatan dan hasil kebudayaan yang berkembang pada kerajaan-kerajaan yang bercorak Budha.Sedang system politik dan struktur pemerintahan secara dominan karena pengaruh Hindu.

2.2 Perkembangan Kerajaan-Kerajaan yang Bercorak Budha di Indonesia
            Kerajaan bercorak Budha di Indonesia merupakan suatu minoritas. Hampir semua kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia hingga abad ke-16 bercorak Hindu dan islam.meskipun begitu pengaruh Budha pada kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia akhirnya melahirkan suatu peradaban yang bersejarah bagi perkembangan sejarah Indonesia dikemudian hari.Di Indonesia terdapat 4 kerajaan yang bercorak Budha dan  salah satunya merupakan akulturasi dari corak Hindu dan Budha. Adapun perkembangan kerajaan-kerajaan yang bercorak Budha tersebut adalah:
1.      Kerajaan Melayu Kuno
·         Sumber Sejarah dan Perkembangan Kerajaan Melayu Kuno

Jambi merupakan wilayah yang terkenal dalam literatur kuno. Nama negeri ini sering disebut dalam prasasti-prasasti dan juga berita-berita China. Ini merupakan bukti bahwa, orang Cina telah lama memiliki hubungan dengan Jambi, yang mereka sebut dengan nama Chan-pei. Diperkirakan, telah berdiri tiga kerajaan Melayu Kuno di Jambi, yaitu Koying (abad ke-3 M), Tupo (abad ke-3 M) dan Kantoli (abad ke-5). Seiring perkembangan sejarah, kerajaan-kerajan ini lenyap tanpa banyak meninggalkan jejak sejarah.

Dalam sejarahnya, negeri ini pernah dikuasai oleh beberapa kekuatan besar, mulai dari Sriwijaya, Singosari, Majapahit, Malaka hingga Johor-Riau. Terkenal dan selalu menjadi rebutan merupakan tanda bahwa Jambi sangat penting pada masa dulu. Bahkan, berdasarkan temuan beberapa benda purbakala, Jambi pernah menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya.
Menurut data Cina Koying telah melakukan perdagangan dalam abad ke 3 M juga di Pasemah wilayah Sumatra Selatan dan Ranau wilayah Lampung telah ditemukan petunjuk adanya aktivitas perdagangan yang dilakukan oleh Tonkin atau Tongkin dan Vietnam atau Fu-nan dalam abad itu juga. Malahan keramik hasil zaman dinasti Han (abad ke 2 SM sampai abad ke 2 M) di temukan di wilayah Sumatera tertentu. Kerajaan Koying terdapat dalam catatan Cina yang dibuat oleh K’ang-tai dan Wan-chen dari wangsa Wu (222-208) tentang adanya negeri Koying. Tentang negeri ini juga dimuat dalam ensiklopedi T’ung-tien yang ditulis oleh Tu-yu (375-812) dan disalin oleh Ma-tu-an-lin dalam ensiklopedi Wen-hsien-t’ung-k’ao. Diterangkan bahwa di kerajaan Koying terdapat gunung api dan kedudukannya 5.000 li di timur Chu-po (Jambi). Di utara Koying ada gunung api dan di sebelah selatannya ada sebuah teluk bernama Wen.Sedang berita Cina yang menunjukkan tentang keberadaan Kerajaan Tupo dan Kantoli tidak diketahui secara pasti.
Setelah Koying, Tupo dan Kantoli runtuh, kemudian berdiri Kerajaan Melayu Jambi. Berita tertua mengenai kerajaan ini berasal dari T’ang-hui-yao yang disusun oleh Wang-p’u pada tahun 961 M, di masa pemerintahan dinasti T’ang dan Hsin T’ang Shu yang disusun pada awal abad ke-7, M di masa pemerintahan dinasti Sung. Diperkirakan, Kerajaan Melayu Jambi telah berdiri sekitar tahun 644/645 M, lebih awal sekitar 25 tahun dari Sriwijaya yang berdiri tahun 670. Harus diakui bahwa, sejarah tentang Melayu kuno ini masih gelap. Sampai sekarang, data utamanya masih didasarkan pada berita-berita dari negeri Cina, yang terkadang sulit sekali ditafsirkan. Namun, dibandingkan daerah lainnya di Sumatera, data arkeologis yang ditemukan di Jambi merupakan yang terlengkap. Data-data arkeologis tersebut terutama berasal dari abad ke-9 hingga 14 M. Untuk keluar dari kegelapan sejarah tersebut, maka, sejarah mengenai Kerajaan Melayu Jambi berikut ini akan lebih terfokus pada fase pasca abad ke-9, terutama ketika Aditywarman mendirikan Kerajaan Swarnabhumi di daerah ini pada pertengahan abad ke-14 M.
Ketika Sriwijaya runtuh akibat serangan Kerajaan Cola dari India pada tahun 1025 M, para bangsawan Sriwijaya banyak yang melarikan diri ke hulu Sungai Batang Hari, dan bergabung dengan Kerajaan Melayu yang memang sudah lebih dulu berdiri, tapi saat itu menjadi daerah taklukannya. Lebih kurang setengah abad kemudian, sekitar tahun 1088 M, keadaan berbalik, Kerajaan Melayu Jambi menaklukkan Sriwijaya yang memang sudah di ambang kehancuran.
Kerajaan Melayu Jambi mulai berkembang lagi, saat itu, namanya adalah Dharmasraya. Sayang sekali, hanya sedikit catatan sejarah mengenai Dharmasraya ini. Rajanya yang bernama Shri Tribhuana Raja Mauliwarmadhewa (1270-1297) menikah dengan Puti Reno Mandi. Dari pernikahan ini, kemudian lahir dua orang putri: Dara Jingga dan Dara Petak.
2.      Kerajaan Kalingga (holing)

·         Sumber Sejarah

Menurut buku sejarah baru Dinasti Tang (618-906 M) mencatat bahwa pada tahun  674 M seorang musafir Tionghoa bernama I-Tsing pernah mengunjungi Negeri Holing .(footnote) Holing ( Chopo ) adalah nama lain dari kerajaan , menurut bukti- bukti China letak kerajaan Kalingga atau Holing ini secara pastinya belum dapat ditentukan. Ada beberapa argumen mengenai letak kerajaan ini, ada yang menyebutkan bahwa negara ini terletak di Semenanjung Malaya, di Jawa Barat dan di Jawa Tengah. Tetapi letak yang paling mungkin ada di daerah antara Pekalongan dan Plawanagan di Jawa Tengah.

J.L. Moens dalam menentukan letak Kerajaan Holing meninjau dari segi perekonomian, yaitu pelayaran dan perdagangan. Menurutnya, Kerajaan Holing selayaknya terletak di tepi Selat Malaka, yaitu di Semenanjung Malaya. Alasannya, Selat Malaka merupakan selat yang sangat ramai dalam aktifitas pelayaran perdagangan saat itu. Pendapat J.L. Moens itu diperkuat dengan ditemukannya sebuah daerah di Semenajung Malaya yang bernama daerah Keling.(footnote)

Kerajaan Kalingga atau Holing adalah kerajaan yang terpengaruh oleh ajaran agama Budha. Sehingga Holing menjadi pusat pendidikan agama Budha. Sebagai pusat pendidikan Budha, akhirnya menarik seorang pendeta Budha dari Cina menuntut ilmu di Holing. Pendeta itu bernama Hou Ei- Ning, Ia ke kerajaan Kalingga untuk menerjemahkan Kitab Hinayana dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina . Usahanya ini dibantu oleh seorang Jawa bernama Pandita Jnanabadhara yang merupakan sahabatnya.(footnote) Menurut keterangan dari Dinasti Sung, kitab yang diterjemahkan oleh Hui-Ning adalah bagian terakhir kitab Parinirvana yang mengisahkan tentang pembukaan jenazah Sang Budha.

·         Perkembangan Kerajaan Kalingga

Sejarah konkret tentang berdirinya kerajaan Kalingga memang sangat sulit ditemukan.Namun,jika dilihat dari namanya Kerajaan Kalingga kemungkinan didirikan oleh sekelompok orang India yang mengungsi dari sebelah timur India ke Nusantara. Dugaan ini didasarkan pada laporan tentang penghancuran daerah Kalingga di India pada pemerintahan Raja Harsja. Orang Kalingga yang tersisa melarikan keluar negeri.Teori ini belum diketahui secara pasti kebenarannya karena memang hanya sebatas sebuah analisis belaka.
Pendiri kerajaan Kalingga dari segi historis tidak diketahui secara pasti.Namun,dapat dianalisis bahwa pada zaman keemasannya pernah memerintah seorang Ratu bernama Ratu Sima yang terkenal dengan kebijaksanaannya.Hingga karena sikap bijaksanaya tersebut ia rela memotong kaki putranya karena tak sengaja melakukan perbuatan buruk.Rakyatnya sangat sejahtera dan senantiasa patuh pada perintahnya.
3.      Kerajaan Sriwijaya
·         Sumber Sejarah

Kerajaan Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya) adalah salah satu kerajaan maritim yang kuat di pulau Sumatera banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.Sumber-sumber sejarah yang mendukung tentang keberadaan Kerajaan Sriwijaya berasal dari berita asing dan prasasti-prasasti.
Berita asing dari berbagai Negara yang pernah menjalin hubungan dagang dan diplomatik dengan kerajaan Sriwijaya ketika pelayarannya pasti menuliskan suatu catatan penting tentang keberadaan kerajaan Sriwijaya.Sumber berita asing paling awal berasal dari berita Cina yang ditulis berdasarkan catatan seorang pendeta Budha yang bernama I-tsing yang singgah di kerajaaan Sriwijaya(Shih-li-fo-shih) pada tahun 672 M selama enam bulan untuk belajar tata bahasa Sansekerta.Setelah itu, baru ia berangkat ke Nalanda, India. Setelah lama belajar di Nalanda, tahun 685 I-tsing kembali ke Sriwijaya  dan tinggal selama empat tahun untuk menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina. (footnote).Namun kemudia pada tahun 692 M ,I-tsing datang kembali ke Sriwijaya dan menuliskan bahwa pada kerajaan Sriwijaya(Fo-shih) dikelilingi benteng dan lebih  dari seribu pendeta Budha belajar agama Budha seperti ajaran agama di India yang beraliran Mahayana.Selain berita asing dari Cina juga terdapat berita asing dari negeri Arab danIndia.
Pernyataan I-tsing tentang kerajaan Sriwijaya diperkuat dengan ditemukannya lima buah prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya yang kesemuannya ditulis dengan huruf Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno.Prasasti tertua adalah prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di tepi sungai Tatang.Prasasti ini menjelaskan tentang adanya seorang raja yang memrintah di Kerajaan Sriwijaya bernama Dapunta Hyang yang merupakan raja pertama kerajaan tersebut.Prasasti ini berangka tahun 605 S atau 632 M dan terdiri dari 10 baris.(footnote).Masih banyak prasasti lain yang membuktikan tentang keberadaan Kerajaan Sriwijaya,antara lain:Prasasti Talangtuo,Prasasti Nalanda,prasasti Telaga Batu,prasasti Kota Kapur,prasasti Karang Berahi dan prasasti Ligor.
·         Perkembangan Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan maritim pertama yang sukses menancapkan kekuasaannya di berbagai wilayah di nusantara bahkan terkenal hingga kawasan regional Asia Tenggara dan Asia Selatan.Kerajaan ini didirikan oleh seorang raja yang bernama Dapunta Hyang.Mulai abad ke-7, Sriwijaya telah melakukan penaklukan untuk berperan sebagai negara maritim. Penguasaan jalur perdagangan dan melimpahnya komoditas perdagangan di daerah yang dikuasai Sriwijaya, membuat kerajaan ini menjadi sebuah emporium (pusat perdagangan) selama berabad-abad. Pedagang dari berbagai negara singgah di pelabuhan Sriwijaya untuk melakukan transaksi dagang. Sriwijaya juga memungut bea cukai bagi setiap kapal yang singgah di pelabuhannya. Hal inilah yang menjadi tambang uang bagi Sriwijaya, di samping transaksi barang dagangan.
Sebagai negara induk, setiap tahun Sriwijaya menerima upeti dari negara-negara bawahan berupa hasil bumi, perak, dan emas atau barang lainnya dengan jumlah yang telah ditentukan (Slamet, 1981:81). Dikatakan oleh I-Tsing, seorang pendeta Buddha yang 2 kali menetap di Sriwijaya, bahwa pada akhir abad ke-7 negara Sriwijaya sangat makmur. Dikatakan bahwa rakyat memberikan sesaji bunga teratai emas kepada arca Buddha; dalam upacara agama tampak perabotan dan arca-arca serba emas. Rakyat dari segala lapisan berlomba memberikan sedekah kepada para pendeta (Slamet, 1981:81).  
Selain berfungsi sebagai emporium, Sriwijaya juga dikenal sebagai pusat agama Buddha di tanah Melayu. Raja-raja Sriwijaya dikenal sebagai pelindung agama Buddha dan penganut yang taat, seperti dapat dilihat dalam Prasasti Nalanda dan berita Tiongkok (Marwati & Nugroho, 1993 :75-76).
Menurut Marwati & Nugroho (1993) , sampai abad ke-11, Kerajaan Sriwijaya masih merupakan pusat pengajaran agama Buddha yang bertaraf internasional. Pada masa pemerintahan Raja Sri Cudamaniwarmadewa (abad ke-11), seorang pendeta Buddha bernama Dharmakrti menyusun kritik tentang sebuah kitab ajaran agama Buddha bernama Abhisamayalandara. Kemudian pada 1011-1023 M, seorang biksu dari Tibet bernama Atisa, datang ke Sriwijaya untuk belajar agama kepada Dharmakrti. Sedangkan dari berita Tiongkok, diperoleh keterangan bahwa pada 1003 M, Raja Sri Cudamaniwarmadewa mengirimkan dua utusan ke Tiongkok untuk membawa upeti. Mereka mengatakan bahwa di negaranya didirikan sebuah bangunan suci agama Buddha untuk memuja agar kaisar panjang umur. Mereka memohon agar kaisar memberikan nama dan genta. Bangunan suci itu kemudian diberi nama Cheng-thien-wa-shou (Marwati & Nugroho, 1993:68-69).
Kejayaan Sriwijaya akhirnya mulai surut karena terjadi beberapa kali penyerangan (perang) yang dilakukan oleh Kerajaan Cola dan pasukan dari Jawa. Kerajaan Cola melakukan 3 kali penyerangan terhadap Sriwijaya, yaitu pada 1017 M yang dipimpin oleh Rajendracoladewa, 1025 M, dan 1068 M yang dipimpin oleh Wirajayendra (Marwati & Nugroho, 1993:69-70). Penyerangan yag dilakukan oleh Kerajaan Cola pada abad ke-11 ternyata menggoyahkan Sriwijaya sebagai kerajaan terbesar di tanah Melayu saat itu. Hal ini terbukti pada serangan kedua (1025 M), raja Sriwijaya yang memerintah saat itu, yaitu Sri Sangramawijayottunggawarman dapat ditawan oleh tentara dari Kerajaan Cola (Marwati & Nugroho, 1993:69).Penyebab penyerangan Kerajaan Cola terhadap Sriwijaya, sampai saat ini belum diketahui secara jelas. Padahal sebelumnya telah terjadi hubungan yang erat antara Sriwijaya dengan Kerajaan Cola, sebagaimana hubungan segitiga antara Sriwijaya-Tiongkok-India.
4.      Kerajaan Mataram Kuno ( Wangsa Syailendra )

·         Sumber Sejarah
Nama Syailendra pertama kali dijumpai dalam Prasasti Kalasan yang berangka tahun 778 M. Ada beberapa sumber yang menyebutkan asal-usul keluarga Syailendra, Nilakanta Sastri dan Moes yang berasal dari India dan menetap di Palembang menyatakan bahwa pada tahun 683 M keluarga Syailendra melarikan diri ke Jawa karena terdesak oleh Dapunta Hyang. Codes beranggapan bahwa Syailendra yang ada di Nusantara berasal dari Funan (Kamboja). Kerusuhan yang terjadi di Funan mengakibatkan keluarga Kerajaan Funan menyingkir ke Jawa dan menjadi penguasa di Mataram pada abad ke-8 M dengan menggunakan nama Syailendra.
Menurut Purbatjaraka, Keluarga Syailendra adalah keturunan dari Wangsa Sanjaya di era pemerintahan Rakai Panangkaran. Raja-raja dari keluarga Sayilendra adalah asli dari Nusantara sejak Rakai Panangkaran berpindah agama menjadi penganut agama Budha Mahayana. Pendapatnya tersebut berdasarkan Carita Parahiyangan yang menyebutkan bahwa Sanjaya menyerahkan kekuasaanya di Jawa Barat kepada puteranya dari Tejakencana, yaitu Rakai Tamperan atau Rakeyan Panambaran dan memintanya untuk berpindah agama.
Selanjutnya sumber seajarah lain terletak pada prasasti dan candi .Prasasti Sojomerto, menjelaskan bahwa Dapunta Syailendra adalah penganut agamat Siwa. Prasasti Kalasan ,yang berangka tahun 778 M merupakan prasasti peninggalan Wangsa Sanjaya. Prasasti ini menceritakan tentang pendirian Candi Kalasan oleh Rakai Panagkaran atas permintaan keluarga Syailendra serta sebagai penghadiahan desa Kalasan untuk umat Budha. Prasasti Klurak,yang berangka tahun 782 M, di daerah Prambanan menyebutkan tentang pembuatan Arca Manjusri yang merupakan perwujudan Sang Budha, Wisnu dan Sanggha. Prasasti ini juga menyebutkan nama raja yang berkuasa saat itu yang bernama Raja Indra. Prasasti Ratu Boko, berangka tahun 865 M menyebutkan tentang kekalahan Raja Balaputra Dewa dalam perang saudara melawan kakaknya Pradhowardhani dan melarikan diri ke Palembang. Nama Syailendra juga muncul dalam Prasasti Klurak  (782 M) “Syailendrawansantilakena”, Prasasti Abhayagiriwihara (792 M) “Dharmmatunggadewasyasailendra”, Prasasti Kayumwunan (824 M) “Syailendrawansatilaka”.

2.3 Kekuatan-Kekuatan Politik Pada Kerajaan Bercorak Budha di Indonesia
            Sistem perpolitikan yang berkembang pada kerajaan-kerajaan bercorak Budha di Indonesia hampir sama dengan sistem politik yang berkembang pada kerajaan-kerajaan bercorak Hindu.Bahkan hampir tidak ada perbedaan mengenai sistem pemerintahan yang mencolok pada kerajaan-kerajaan bercorak Budha.Hal yang membedakan hanya terdapat pada sistem kemasyarakatan pada kerajaan Budha tidak terdapat system kasta dan semua lapisan masyarakat baik itu berupa rakyat ataupun golongan bangsawan semuanya sama .Untuk lebih jelasnya kekuatan-kekuatan politik yang dijalankan oleh kerajaan-kerajaan bercorak Budha adalah:
1.Kerajaan Melayu Kuno
·         Struktur Pemerintahan Kerajaan
Struktur pemerintahan kerajaan Melayu kuno pada awal abad ke-3 hingga abad ke-9 belum diketahui secara jelas.Hal ini karena sumber yang konkret mengenai system pemerintahan kerajaan belum jelas dan pada masa tersebut Kerajaan Melayu Kuno di bawah penguasaan kerajaan lain.Sedang pasca abad ke-9, kerajaan Melayu Kuno diperintah oleh seorang raja yang terkenal saat itu bernama Adityawarman,yang mengganti nama kerajaan Mealayu Kuno menjadi Kerajaan Swarnabhumi.
Silsilah
Di masa Kerajaan Dharmasraya, raja yang dikenal hanyalah Shri Tribhuana Raja Mauliwarmadhewa (1270-1297). Sementara raja-raja yang lain, belum didapat data yang lengkap. Di masa Kerajaan Swarnabhumi, rajanya yang paling terkenal adalah Aditywarman. Namun, ketika bergabung dengan Minangkabau, maka silsilah raja yang ada merupakan silsilah  raja-raja Minangkabau.
 Periode Pemerintahan
Agak rumit memaparkan bagaimana periode pemerintahan berlangsung di Jambi, jika  pemerintahan tersebut diandaikan sebuah kerajaan merdeka yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain. Berdasarkan sedikit data sejarah yang tersedia, tampaknya Jambi menikmati masa bebas dari pengaruh kerajaan lain hanya di masa Kerajaan Melayu Kuno. Selanjutnya, ketika Sriwijaya berdiri, Jambi menjadi daerah taklukan Sriwijaya, bahkan, menurut beberapa sumber yang, tentu saja masih diperdebatkan, Jambi pernah menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya. Ketika Sriwijaya runtuh dan muncul kekuatan Singosari di Jawa, Jambi menjadi daerah taklukan Singosari. Ketika Singosari runtuh dan muncul kemudian Majapahit, Jambi menjadi wilayah taklukan Majapahit.
Dalam perkembangan selanjutnya, Jambi menjadi pusat Kerajaan Swarnabhumi yang didirikan Aditywarman. Ketika pusat kerajaan Adityawarman berpindah ke Pagaruyung, Jambi menjadi bagian dari Kerajaan Minangkabau di Pagaruyung. Ketika Malaka muncul sebagai sebuah kekuatan baru di Selat Malaka, Jambi menjadi bagian dari wilayah Malaka. Malaka runtuh, kemudian muncul Johor. Lagi-lagi, Jambi menjadi bagian dari Kerajaan Johor. Demikianlah, Jambi telah menjadi target ekspansi setiap kerajaan besar yang berdiri di Nusantara ini.
Wilayah Kekuasaan
Wilayah Kerajaan Jambi meliputi daerah sepanjang aliran Sungai Batang Hari yang sekarang menjadi wilayah Propinsi Jambi, yang berbatasan dengan wilayah Sumatera Barat, Riau dan Sumatera Selatan.
2.Kerajaan Kalingga(Holing)
·         Struktur Pemerintahan Kerajaan

Struktur pemerintahan kerajaan Kalingga belum ketahui secara jelas.Hal ini dikarenakan belum diketahui secara jelas.Pada pemerintahan ratu Sima  menurut sebuah buku yang memaparkan tentang sejarah dinasti Tang kuno (618-906 ) yaitu buku 197 dan buku 222 bagian dua (footnote) yang member gambaran bahwa ibukota Kalingga dikelilingi oleh pagar kayu. Penguasa Kalingga tinggal di sebuah istana bertingkat dengan atap dari daun palma.Sang ratu duduk di singgasana yang terbuat dari gading.
Kerajaan Kalingga saat itu diperintah oleh seorang ratu  terkenal tegas bernama Ratu Sima.Dalam sebuah kisah diceritakan bahwa karena ketegasan dan kebijaksanaannya, barang-barang yang tercecer di jalanan tidak ada yang berani memungutnya apalagi memilikinya.Dalam kisah tersebut dikisahkan bahwa  para pejabat Mahapatih, patih, mahamenteri, dan menteri, hulubalang, jagabaya,jagatirta, Ulu-ulu, pun segenap pimpinan divisi kerajaan sampai tukang Istal kuda, alias pengganti tapal kuda, kuda-kuda tunggang kesayangannya, tak ada yang berani menentang sabda pandita ratunya.Berarti dalam kisah ini secara tersirat menyebutkan bahwa struktur pemerintahan telah disebutkan secara jelas diatas.

·         Upaya Mempertahankan Kekuasaan
http://cdn-u.kaskus.us/51/9kexyie7.png
Gambar:Keberadaan Kerajaan Kalingga
Setiap kerajaan pasti ada upaya-upaya tersendiri untuk mempertahankan kekuasaan.Cara yang dilakukan pun berbeda-beda.Hal-hal yang dilakukan antara lain:
a.      Hubungan Diplomatik Dengan Negara Lain

Ratu Sima sebagai ratu di Kerajaan Kalingga memiliki hubungan diplomatik dengan kerajaan lain .Hubungan diplomatik tersebut dibuktikan dengan berita asing  yang berasal dari Cina yang menyebutkan bahwa Kerajaan Kalingga kerap mengirim utusan untuk mempersembahkan upeti kepada Kaisar Cina. Pada tahun 813, utusan Kalingga antara lain mempersembahkan empat budak dan burung kaktua dan bulu aneka warna yang disebut burung p’in-chia. Dikabarkan bahwa Kaisar Cina sangat senang dengan utusan tersebut sehingga memberikanya gelar.Selain itu terdapat juga berita cina yang mengatakan bahwa dalam tahun 640 M dan 666 M kerajaan ini mengirim utusannya ke Cina.Sumber mengenai hubungan diplomatik dari kerajaan ini hanya mengutarakan bahwa hanya Cinalah yang memiliki hubungan diplomatik yang baik dengan kerajaan Kalingga.
b.      Pemerintahan Ratu Sima dan Stabilitas Perdagangan
            Ratu Sima sebagai raja dikerajaan Kalingga dengan suatu pemerintahan yang adil dan bijaksana.Semua rakyat dan para bangsawan sangat menghormati beliau sebagai seorang ratu meskipun saat itu keseteraan gender belum terdengar gaungnya.Setiap titah dan perintahnya selalu dituruti oleh semua kalangan rakyat hingga sang ratu kemudian khawatir karena kesetiaan rakyatnya yang menurutnya berlebihan.Hingga pada suatu waktu ia menguji kesetiaan  para bangsawan kerajaan dengan  menguji kesetiaan lingkaran elitnya dengan memutasi dan menukarkan posisi pejabat penting di lingkungan Istana. Namun puluhan pejabat yang mendapat mutasi ditempat yang tak diharap, maupun yang dipensiunkan, tak ada yang mengeluh dengan kebijakan sang ratu. Semua bersyukur, kebijakan Ratu Shima sebetapapun memojokkannya, dianggap memberi barokah, titah titisan Sang Hyang Maha Wenang.

Tak puas dengan sikap setia lingkaran dalamnya, Ratu Shima, sekali lagi menguji kesetiaan rakyatnya dengan menghamparkan emas permata, perhiasan yang tak ternilai harganya di perempatan alun-alun dekat Istana tanpa penjagaan sama sekali.Ternyata tanpa disengaja kaki sang putra mahkota menyentuh emas tersebut ,hingga sang ratu pun mengetahuinya dan dengan berat hati demi terciptanya keadilan ia memutuskan untuk menghukum mati putranya.Namun,rakyat Kalingga memohon agar hukuman mati tersebut dibatalkan dan diganti dengan memotong kakinya saja dengan alasan karena kakinya yang menyentuh emas tersebut.Sang ratu kemudian luluh hatinya dan menuruti permintaan rakyatnya untuk membatalkan hukuman mati dan diganti dengan pemotongan kaki terhadap putra mahkotanya.
. Hal itu dituliskan dengan jelas di Prasasti Kalingga, yang masih bisa dilihat hingga kini.
           
            Berkaitan dengan stabilitas perdagangan yang berlangsung pada pemerintahan kerajaan Kalingga dapat diketahui  dengan banyak ditemukan barang-barang yang bercirikan kebudayaan Dong-Song dan India. Hal ini menunjukkan adanya pola jaringan yang sudah terbentuk antara Kalingga dengan bangsa luar. Wilayah perdaganganya meliputi laut China Selatan sampai pantai utara Bali. Tetapi perkembangan selanjutnya sistem perdagangan Kalingga mendapat tantangan dari Sriwijaya, yang pada akhirnya perdagangan dikuasai oleh Sriwijaya. Sehingga Sriwijaya menjadi kerajaan yang menguasai perdagangan pada pertengahan abad ke-8.

·         Keturunan Ratu Sima

            Dari berbagai sumber diketahui bahwa kelak keturunan ratu Sima akan meneruskan pemerintahan kerajaan yang besar di pulau Jawa.Ratu Sima memiliki seorang putrid bernama Parwati yang menikah dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang bernama Mandiminyak yang kemudian menjadi raja ke 2 dari Kerajaan Galuh.Ratu Sima memiliki cucu yang bernama Sanaha yang menikah dengan raja ke 3 dari Kerajaan Galuh, yaitu Bratasenawa. Sanaha dan Bratasenawa memiliki anak yang bernama Sanjaya yang kelak menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732M).
Setelah ratu Sima mangkat di tahun 732M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram, dan kemudian mendirikan Dinasti atau Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban.Kemudian Raja Sanjaya menikahi Sudiwara puteri Dewasinga, Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara, dan memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran.

3.Kerajaan Sriwijaya
·         Struktur pemerintahan
Sebagai kerajaan maritim, wilayah Sriwijaya ternyata membutuhkan pengawasan yang ekstra karena luasnya kekuasaan kerajaan ini. Untuk menjaga eksistensi kekuasaan, Raja Sriwijaya menerapkan beberapa kebijakan, misalnya saja dalam beberapa prasasti dituliskan tentang kutukan bagi siapa saja yang tidak taat pada raja, seperti dalam Prasasti Telaga Batu dan Kota Kapur. Fungsi ancaman (kutukan) ini semata-mata untuk menjaga eksistensi kekuasaan seorang raja terhadap daerah taklukannya (Marwati & Nugroho, 1993:71). Selain kutukan, terdapat pula prasasti yang menjanjikan hadiah berupa kebahagiaan terhadap siapa saja yang tunduk terhadap Sriwijaya, seperti yang tertulis pada Prasasti Kota Kapur.
Selain berisi kutukan, Prasasti Telaga Batu juga memuat tentang penyusunan ketatanegaraan Sriwijaya, seperti misalnya yuvaraja (putra mahkota), pratiyuvaraja (putra raja kedua), rajakumara (putra raja ketiga), rajaputra (putra raja keempat), bhupati (bupati), senapati (pemimpin pasukan), nayaka, pratyaya, haji pratyaya (orang kepercayaan raja?), dandanayaka (hakim), tuha an vatak vuruh (pengawas kelompok pekerja), addhyaksi nijavarna, vasikarana (pembuat pisau), kayastha (juru tulis), sthapaka (pemahat), puhavam (nakhoda kapal), vaniyaga, pratisara, marsi haji, hulunhaji (saudagar, pemimpin, tukang cuci, budak raja), datu, dan kadatuan (Marwati & Nugroho, 1993:57).

Secara struktural, Raja Sriwijaya memerintah secara langsung terhadap seluruh wilayah kekuasaan (taklukan). Di beberapa daerah taklukan ditempatkan pula wakil raja sebagai penguasa daerah. Wakil raja ini biasanya masih keturunan dari raja yang memimpin. Maka masuk akal jika dijumpai pula prasasti yang berisi kutukan untuk anggota keluarga kerajaan. Maksud dari kutukan ini adalah untuk menunjukkan sikap keras dari raja yang berkuasa, sekaligus suatu sikap dari raja yang tidak menghendaki kebebasan bertindak yang terlalu besar pada penguasa daerah (Marwati & Nugroho, 1993:72). Sikap semacam ini sangat diperlukan untuk menjaga eksistensi kekuasaan seorang raja sebagai penguasa tertinggi di Sriwijaya. Sikap ini juga sekaligus dilakukan untuk meredam upaya kudeta yang mungkin terjadi pada penguasa daerah, meskipun para penguasa tersebut masih keluarga ataupun keturunan raja.

Kontrol kekuasaan juga dilakukan melalui kekuatan militer. Sebagimana disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit, Dapunta Hyang Sri Jayanaga memimpin pasukan sebanyak 20.000 tentara untuk menaklukkan daerah Ma-ta-dja (?), yaitu sebuah daerah yang sampai sekarang masih menjadi perdebatan para ahli, di antaranya Coedes dan N.J. Krom (Slamet, 2006:137).  Jumlah 20.000 tentara pada abad ke-7 tentu saja akan bertambah berkali lipat ketika Sriwijaya sanggup meluaskan daerah taklukkan sampai ke Asia Tenggara. Kontrol wilayah juga bisa dilakukan dengan pengerahan pasukan apabila diketahui ada penguasa wilayah yang tidak tunduk terhadap Raja Sriwijaya.

Adapun raja-raja yang pernah memerintah di kerajaan Sriwijaya adalah:

Ø  Dapunta Hyang Sri Jayanaga (683 M). Selama masa pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang Sri Jayanaga telah menuliskan Prasasti Kedukan Bukit (683 M), Talang Tuo (684 M), dan Kota Kapur. Selain itu, Dapunta Hyang Sri Jayanaga juga menaklukkan Kerajaan Melayu dan Tarumanegara.
Ø   Indravarman (702 M). Selama masa kepemimpinan Indravarman, dikirim utusan ke Tiongkok pada 702-716 M,dan 724 M.
Ø  Rudra Vikraman atau Lieou-t`eng-wei-kong (728 M). Selama masa kepemimpinan Rudra Vikraman, dikirim utusan ke Tiongkok pada 728-748 M.
Ø  Dharmasetu (790 M).
Ø  Wisnu (795 M) dengan gelar Sarwarimadawimathana yang artinya  “pembunuh musuh-musuh yang sombong tiada bersisa “ (775 M). Selama kepemimpinannya, Raja Wisnu memulai pembangunan Candi Borobudur pada 770 M dan menaklukkan Kamboja Selatan.
Ø  Samaratungga (792 M). Selama kepemimpinan Raja Samaratungga, Sriwijaya kehilangan daerah taklukannya di Kamboja Selatan pada 802 M.
Ø  Balaputra Sri Kaluhunan (Balaputradewa) (835 M). Raja ini memerintahkan pembuatan biara untuk Kerajaan Cola di India dengan meninggalkan Prasasti Nalanda.
Ø  Sri Udayadityawarman (960 M). Selama kepemimpinannya,  Raja Sri Udayadityawarman mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 960 M.
Ø  Sri Wuja atau Sri Udayadityan (961 M). Selama kepemimpinannya, Raja Sri Udayadityan mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 961-962 M.
Hsiae-she (980 M). Selama kepemimpinannya, Raja Hsiae-she mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 980-983 M.
Ø  Sri Cudamaniwarmadewa (988 M). Saat beliau memerintah, terjadi penyerangan dari Jawa.
Ø  Sri Marawijayottunggawarman (1008 M). Selama kepemimpinannya, Raja Sri Marawijayottunggawarman mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 1008 M.
Ø  Sumatrabhumi (1017 M). Selama kepemimpinannya, Raja Sumatrabhumi mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 1017 M.
Ø  Sri Sanggramawijayottunggawarman (1025). Selama kepemimpinan Raja Sri Sanggramawijayottunggawarman, Sriwijaya dapat dikalahkan oleh Kerajaan Cola dan sang raja sempat ditawan.
Ø  Sri Deva (1028 M). Selama kepemimpinannya, Raja Sri Deva mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 1028 M.
Ø  Dharmavira (1064 M).
Ø  Sri Maharaja (1156 M). Selama kepemimpinannya, Raja Sri Maharaja mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 1156 M.
Ø  Trailokaraja Maulibhusana Varmadeva (1178 M). Selama kepemimpinannya, Raja Trailokaraja Maulibhusana Varmadeva mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 1178 M.
·         Upaya Memperatahankan Kekuasaan
a.      Hubungan Diplomatik dengan Kerajaan lain
Sriwijaya juga mengadakan hubungan diplomasi dengan Tiongkok, India, dan Cola. Seperti dikutip dalam buku Sriwijaya (1996), hubungan diplomasi dengan jalan pengutusan antara Sriwijaya dengan Tiongkok pertama kali terjadi pada 713 M dan 714 M. Pengiriman utusan selanjutnya dilakukan pada 960 M, 962 M, 980 M, dan 983 M. Pada 992 M datang kabar dari Kanton bahwa Sriwijaya sedang diserang tentara dari Jawa. Utusan yang telah terlanjur berada di Tiongkok kemudian berangkat ke Campa akan tetapi keberangkatan ke Sriwijaya dari Campa terpaksa dibatalkan karena peperangan kembali berkobar di Sriwijaya. Atas terjadinya peperangan ini, utusan Sriwijaya akhirnya kembali ke Tiongkok dan meminta kepada Kaisar Tiongkok untuk menyatakan bahwa Sriwijaya berada dibawah perlindungan Tiongkok. Utusan kembali dikirimkan oleh Sriwijaya pada 1003 (Slamet, 1996 :271-272).
Pada 1008 Raja Se-li-ma-la-pi (Sri Marawi, yaitu Marawijaya) mengirimkan tiga utusan untuk mempersembahkan upeti kepada kaisar Tiongkok (Slamet, 1996:272). Beberapa uraian di atas menjelaskan bahwa telah terjadi hubungan segitiga antara Sriwijaya-Tiongkok-India  (yang diwakili oleh Marawijaya). Hubungan ini semata-mata dilakukan oleh Sriwijaya karena usaha penggalangan kekuatan dalam menghadapi serangan dari luar, misalnya saja ketika Sriwijaya mendapat serangan dari Jawa pada 992 M.
 b . Perdagangan

Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas selat Malaka dan selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditi seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassalnya di seluruh Asia Tenggara.
Pada paruh pertama abad ke-10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan negeri kaya Guangdong, kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.
c.       Relasi dengan kekuatan regional

Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan pada kawasan di Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti.
Pada masa awal kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan tersebut, pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan dinasti Chola di selatan India juga cukup baik, dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan di abad ke-11. Kemudian hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola, dari kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts’i membantu perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079, pada masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.

d.      Ekspansi dan Perluasan Wilayah Kekuasaan

Gambar :Wilayah Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya


Menurut Slamet Muljana, alasan perluasan wilayah bagi Sriwijaya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat (Slamet, 1981:68). Maka berdasarkan alasan ini, dimulailah politik perluasan wilayah oleh Sriwijaya yang mula-mula menaklukkan Bangka kemudian Kerajaan Melayu di Jambi untuk mengambil alih peran sebagai  penguasa lalu lintas perdagangan dan pelayaran di Selat Malaka. Penguasaan atas Bangka dan Kerajaan Melayu terjadi antara tahun 672-682 M atau akhir abad ke-7 (Slamet, 1981:67).

Menurut Slamet Muljana (1981), pada 682 M Sriwijaya meluaskan kekuasaan dengan menaklukkan daerah Minanga Tamwan, yaitu sebuah daerah di sebelah barat laut Melayu. Penaklukkan terhadap Minanga Tamwan ini ditulis dalam Prasasti Kedukan Bukit. Setelah menundukkan Minanga Tamwan, perluasan kekuasaan selanjutnya mengarah ke utara menuju pantai barat Semenanjung untuk menaklukkan Kedah yang dilakukan kira-kira antara tahun 685-688 M. Setelah berhasil menaklukkan Kedah, Sriwijaya kemudian berhasil menaklukkan Kerajaan Tulang Bawang yang terletak di Muara Sungai Tulang Bawang, Lampung. Penaklukkan ini tertulis dalam Prasasti Palas Pasemah. Pada 686 M kekuatan militer Sriwijaya melakukan ekspedisi penaklukan ke Jawa. Ekspedisi ini sukses menaklukkan Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat. Penaklukan terhadap Tarumanegara tertulis dalam Prasasti Kota Kapur. Pada abad ke-8, Sriwijaya menaklukkan daerah Ligor yang terletak di pantai timur Semenanjung (Slamet, 1981:69, 74-75, dan 79).

Dimulai dari abad ke-7 sampai 12, wilayah kekuasaan Sriwijaya telah membentang dari Sumatera sampai ke Asia Tenggara.Disebutkan bahwa pada abad ke-12, wilayah imperium Sriwijaya telah meliputi Sumatera, Sri Lanka, Semenanjung Melayu, Jawa Barat, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, dan Filipina. Kekuasaan yang sangat besar ini menempatkan Sriwijaya sebagai sebuah imperium yang hebat sampai abad ke-13 .

Sedangkan dalam berita Tiongkok yang ditulis oleh Chau Ju-Kua dalam Marwati & Nugroho  (1993), disebutkan bahwa pada permulaan abad ke-13, Sriwijaya telah memiliki sedikitnya 15 daerah taklukan. Daerah taklukan Kerajaan Sriwijaya tersebut adalah: Pang-fang (Pahang), Teng-ya-nung (Trengganu), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Ki-lan-tan (Kelantan), Fo-lo-an (Kuala Berang), Ji-lo-ting (?), Cheng-mai (?), Pa-t`a (?), Tan-ma-ling (Tambralingga), Kia-lo-hi (Grahi), Pa-lin-fong (Palembang), Sun-to (Sunda), Kien-pi (Kampe), Lan-wu-li (Lamuri), dan Si-lan (Ceylon) (Marwati & Nugroho, 1993:70).
    
4.Kerajaan Mataram Kuno (Budha)

            Dari berbagai sumber diketahui bahwa ada tiga dinasti yang berkuasa di kerajaan Mataram Kuno,yaitu Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra yang berkuasa pada periode pusat kerajaan di Jawa Tengah dan Dinasti Isyana yang berkuasa pada periode Pusat kerajaan di Jawa Timur yang biasa disebut sebagai Kerajaan Medang.Dari ketiga dinasti tersebut yang pemerintahannya bercorak Budha adalah Kerajaan Mataram Kuno yang dipegang oleh dinasti Syailendra.
Gambar :Peta Letak Kerajaan Mataram Kuno
·         Struktur Pemerintahan
Raja merupakan pemimpin tertinggi Kerajaan Medang. Sanjaya sebagai raja pertama memakai gelar Ratu. Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar ini setara dengan Datu yang berarti "pemimpin". Keduanya merupakan gelar Indonesia asli.Ketika Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra berkuasa, gelar Ratu dihapusnya dan diganti dengan gelar Sri Maharaja. Kasus yang sama terjadi pada Kerajaan Sriwijaya di mana raja-rajanya semula bergelar Dapunta Hyang, dan setelah dikuasai Wangsa Sailendra juga berubah menjadi Sri Maharaja.Pemakaian gelar Sri Maharaja di Kerajaan Mataram Kuno tetap dilestarikan oleh Rakai Pikatan meskipun Wangsa Sanjaya berkuasa kembali. Hal ini dapat dilihat dalam daftar raja-raja versi prasasti Mantyasih, di mana hanya Sanjaya yang bergelarSangRatu.
             Jabatan tertinggi sesudah raja ialah Rakryan Mahamantri i Hino atau kadang ditulis Rakryan Mapatih Hino. Jabatan ini dipegang oleh putra atau saudara raja yang memiliki peluang untuk naik takhta selanjutnya
Jabatan sesudah Mahamantri i Hino secara berturut-turut adalah Mahamantri i Halu dan Mahamantri i Sirikan. Pada zaman Majapahit jabatan-jabatan ini masih ada namun hanya sekadar gelar kehormatan saja. Pada zaman Wangsa Isana berkuasa masih ditambah lagi dengan jabatan Mahamantri Wka dan Mahamantri Bawang.Jabatan tertinggi di Mataram kuno selanjutnya ialah Rakryan Kanuruhan sebagai pelaksana perintah raja.Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa ketika wangsa atau dinasti Syailendra berkuasa terdapat semacam akulturasi dalam system pemerintahan yang berlaku di Kerajaan Mataram Kuno itu sendiri.

Silsilah raja Sanjaya
Gambar:Silsilah Raja Kerajaan Mataram Kuno
Adapun Raja-raja yang pernah berkuasa, yaitu :
1.      Bhanu (752 – 775 M)
Raja Banu merupakan Raja pertama sekaligus pendiri Wangsa Syailendra
 2.      Wisnu (775 – 782 M)
Pada masa pemerintahannya, Candi Borobudur mulai dibangun tepatnya 778 M.
 3.      Indra (782 – 812 M)
Pada masa pemerintahannya, Raja Indra membuat Klurak yang berangka tahun 782 M, di daerah Prambanan
4.      Samaratungga ( 812 – 833 M)
Raja Samaratungga berperan menjadi pengatur segala dimensi kehidupan rakyatnya. Sebagai raja Mataram Budha, Samaratungga sangat menhayati nilai agama dan budaya Pada masa pemerintahannya Candi Borobudur selesai dibangun.
5.      Pramodhawardhani (883 – 856 M)
           Pramodhawardhani adalah putri Samaratungga yang dikenal cerdas dan cantik. Beliau bergelar Sri Kaluhunan, yang artinya seorang sekar kedhaton yang menjadi tumpuan harapan bagi rakyat. Pramodhawardhani kelak menjadi permaisuri raja Rakai Pikatan, Raja Mataram Kuno dari Wangsa Sanjaya.
·         Perkawinan Politik (Akulturasi Agama dalam Hegemoni Kekuasaan)
Awal pemerintahan dinasti Syailendra pada Kerajaan Mataram Kuno terletak pada masa pemerintahan  Raja Bhanu.Dinasti Sanjaya terdesak oleh keturunan Dinasti Sanjaya,tetapi pergeseran kekuasaan tersebut tidak diketahui secara pasti.Adanya pergeseran atau pengambilalihan kekuasaan tersebut dibuktikan dengan banyaknya prasasti dan candi yang menyebutkan tentang Dinasti Syailendra.Namun,bukan berarti setelah pergeseran kekuasaan tersebut dinasti Sanjaya lantas padam tetapi pemerintahan Dinasti Sanjaya tetap berlangsung dan beriringan dengan pemerintahan Dinasti Syailendra.Dalam hal ini ternyata diketahui bahwa pada abad ke-8 dan 9 ,Dinasti Sanjaya wilayah kekuasaannya terletak di Jawa Tengah Utara yang dibuktikan dengan corak candi yang beraliran Hindu,sedang Dinasti Syailendra wilayah kekuasaannya terletak di Jawa Tengah Selatan dengan dibuktikan penemuan candi-candi yang bercorak Budha Mahayana yang sudah condong ke Tantrayana.(Soekmono,1973:42-46)
Pada pertengahan awal abad ke-9,kedua Dinasti tersebut bersatu dengan adanya sebuah perkawinan politik antara Rakai Pikatan(Hindu) dan Pramodawardhani (Budha).Dengan perkawinan tersebut berari ada semacam akulturasi politik yang ditujukan untuk usaha hegemoni kekuasaan dan upaya perebutan kembali kekuasaan dinasti Sanjaya.Hal ini dapat dibuktikan karena setelah pernikahan tersebut hegemoni Dinasti Syailendra akhirnya digantikan oleh Dinasti Sanjaya.Meskipun pada akhirnya terdapat keteraturan dan sebuah toleransi beragama yang kondusif setelah pernikahan kedua duta dinasti.







PENUTUP
3.1     Kesimpulan

·         Pengaruh agama Budha sampai di Indonesia dibawa oleh para biksu atau pendeta-pendeta Budha dengan dua misi yaitu selain untuk berdagang juga untuk menyebarkan agama Budha
·         Secara umum system pemerintahan dan struktur pemerintahan pada kerajaan-kerajaan bercorak Budha terdapat persamaan dengan system pemerintahan pada kerajaan Hindu
·         Pada akhir pengaruh Budha di Indonesia terdapat semacam akulturasi kekuatan politik antara Hindu dan Budha melalui peerkawinan politik

3.2     Kritik dan Saran

·         Minat untuk mempelajari secara mendalam mengenai kerajaan-kerajaan bercorak Budha hendaknya ditingkatkan untuk menambah khazanah sejarah Indonesia
·         Kekuatan-kekuatan politik yang tercermin dalam upaya kesatuan dan keutuhan kerajaan Budha hendaknya diterapkan pada system politik zaman sekarang sebagai hikmah dan pelajaran kehidupan yang berarti.
















DAFTAR PUSTAKA

Dr.Purwadi, M.Hum, 2007. Sistem Pemerintahan Kerajaan Jawa Klasik. Medan: Pujakesuma
Marwati Djoenoed Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia II. Cetakan           ke-4. Jakarta: Balai Pustaka.
Sartono Kartodirdjo. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emporium sampai           Imperium. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Slamet Muljana . 2006. Sriwijaya. Cetakan ke-II. Yogyakarta: LkiS.
Soekmono,Drs.R.1973.Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2.Cetakan ke-4.Yogyakarta:Kanisius
Sumber Internet             
Anonim.2012.Mengenal Kerajaan Mataram.Diakses di   <http://afghanaus.com/2012/03/05/mengenal-kerajaan-mataram.html>pada 11 Maret 2012 pukul 12.36 AM
Aswadi,Rahmad.2010.Sejarah dan Pariwisata Jambi.Diakses di <http://blog.djarumbeasiswaplus.org/aswadirahmad/2010/12/sejarah-dan-prawisata-jambi.html>pada 9 Maret 2012 pukul 11.00 AM
Tasman,Aulia.2009.Sejarah Kerajaan Melayu Kuno.Diakses di <http://auliatasman.blogspot.com/2009/05/sejarah-kerajaan-melayu-kuno.html>pada 11 Maret 2012 pukul 12.36 AM



Lampiran
A.Peninggalan Kerajaan Melayu Kuno


Dari kiri kekanan: Gambar 1:Candi Astano                                Gambar 2:Candi Gedong 1


Gambar 3 :Candi Kembar Batu                                              Gambar 4:Candi Muara Jambi
Gambar 5 :Komplek Candi Muara Jambi

B.Peninggalan Kerajaan Kalingga (Holing)
http://cdn-u.kaskus.us/51/2ybnaxic.jpg
Gambar 6:Candi Tukmas
C.Peninggalan Kerajaan Sriwijaya

Gambar 7 :Prasasti Kedukan Bukit            Gambar 8:Prasasti PalasPasemah
Gambar 9 :Prasasti Telaga Batu

               
D.Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno

Gambar 10 :Candi Borobudur                                                              Gambar 11:Candi Ngawen

Gambar 12:Candi Pawon                                                             Gambar 13 :Candi Ratu Boko

     
Gambar 14:Prasasti Kalasan                 Gambar 15:Prasasti Kelurak          Gambar 16:Prasasti Sojomerto