PERAN ETNIS TIONGHOA DALAM SEJARAH KEMERDEKAAN
INDONESIA
Dewasa ini,begitu banyak novel bertemakan
sejarah dipasaran.Tak begitu sulit bila kita pergi ke toko buku atau
perpustakaan umum dan mencari novel – novel bertemakan sejarah yang memang
apabila dibaca dapat menambah wawasan tersendiri bagi kita yang ingin menikmati
nuansa sejarah dalam bentuk penyampaian cerita yang berbeda ketika kita membaca
buku sejarah umum.Penyampaian ilustrasi yang ditulis dalam novel sejarah seakan
menghipnotis pembaca untuk turut serta merasakan dan seakan – akan hidup pada
zaman sejarah tersebut.Hal ini menjadi alternatif bagi para penikmat sejarah yang ingin
memperluas pengetahuan sejarahnya dengan nuansa yang berbeda.Karena ternyata
banyak sekali sejarah yang belum ditulis dan bahkan banyak juga sejarah yang
direkayasa ceritanya demi kepentingan politik semata.
Novel
berjudul “ Ca Bau Kan ( Hanya Sebuah Dosa ) ’’ yang dikarang oleh
seorang novelis ulung yang dikenal setia menekuni novel bergenre sejarah yaitu
“ Remy Sylado ’’.Dua karyanya yang juga bergenre sejarah adalah
Diponegoro dan Parisj van Java.Novel ini bercerita mengenai kehidupan
masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1918 –
1951.Salah satu yang ditonjolkan adalah peranan beberapa anggota masyarakat
keturunan Tionghoa dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia.Dengan
demikian,novel ini membantah pandangan stereotip yang menyatakan bahwa
keturunan Tionghoa tidak memiliki andil dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
Begitu
banyak fakta sejarah yang disajikan oleh Remy Syalado dalam novel ini yang
dalam sejarah kemerdekaan Indonesia tidak pernah disebutkan kiprahnya sebagai
pejuang bangsa.Tan Peng Liang seorang
yang dikenal sebagai pengusaha kaya pada kalangan etnis Tionghoa
ternyata sangat berpengaruh dalam lika – liku perjalanan kemerdekaan
Indonesia.Ia berkiprah sebagai penyelundup senjata bagi kepentingan perjuangan
kemerdekaan Indonesia di tanah kelahirannya yaitu Semarang.Meskipun tidak andil
secara langsung dalam peperangan melawan tentara Jepang pada saat itu.Namun,
persoalan senjata memang sangat penting sebagai kekuatan untuk melawan
musuh.Kiprahnya sebagai penyelundup senjata itu tidak tanggung – tanggung selama
tiga kali ia bolak – balik Indonesia – Muangthai untuk menyelundupkan senjata.Pertama,senjata
itu diperuntukkan untuk mempertahankan Semarang dari tentara Jepang (Kido
Butai) yang bermaksud menggempur Yogya,Solo dan Semarang.Kedua,senjata itu
diperuntukkan untuk tentara rakyat yang dipimpin oleh Soetardjo Rahardjo pasca
pertempuran lima hari di Semarang yang dilatar belakangi oleh penolakan tentara
Jepang terhadap pelucutan senjata ditambah kedatangan NICA sebagai organisasi
yang diboncengi oleh AFNEI sudah mempersenjatai KNIL.Ketiga,senjata itu
diperuntukkan untuk kepentingan peperangan antara tentara rakyat daerah Bandung
(Max Awuy) pasca pembumihangusan kota Bandung (Bandung lautan api) untuk
berperang melawan pemberontakan TII yang dipimpin Kurtosuwiryo dan Belanda
beserta antek Negara Pasundannya. Jadi,secara eksplisit bisa dibilang Tan Peng
Liang sebagai pembantu finansial dalam bidang ekonomi untuk ruang lingkup
jual-beli senjata serta penyelundupnya.
Begitu juga ayahnya Tan Tiang Tjing yang pada zaman pendudukan Jepang
dipercaya duduk dalam lembaga Jawa Hokaido,yaitu alat penjalin
komunikasi dengan organisasi – organisasi pendukung kemerdekaan Indonesia yang
dibentuk dan dibina oleh Gunseikanbu.Yang tidak lain kiprahnya dengan
Soetardjo Rahardjo (keponakan Tan Tiang Tjing) bersama diam – diam dengan amat
rahasia membagi informasi kepada pihak BPKP (Badan Pembantu Keluarga Prajurit)
yang populer disebut Bodjong 89 yang bergaris nasional dan revolusioner.
Novel
ini juga membedah tentang sejarah kota Jakarta, lengkap dengan latar lanskap kota ketika itu. Dengan
amat konsisten, semua nama jalan ditulis dengan nama lahirnya. Misalkan
Molenvliet sebagai nama tua dari Jl. Hayam Wuruk dan Gajah Mada atau Gang
Chaulan untuk Jl. Hasyim Ashari,Grote Zuidenwerg yang kini menjadi Jl.Gunung
Sahari,Wilhelmina Park menjadi Masjid Istiqlal,gedung Schouwburg yang kini
menjadi Gedung Kesenian Jakarta dan masih banyak lagi yang lain.
Sejarah tentang status kewarganegaraan etnis Tionghoa
juga ditulis secara deskriptif dalam novel ini.Pada masa prakemerdekaan
Indonesia para etnis Tionghoa telah tinggal di Indonesia sejak lama sebelum
kedatangan pemerintah Hindia Belanda ke nusantara.Dalam pengklasifikasian
mengenai status kewarganegaraan ini ada dua golongan yaitu kiau-seng dan
hoa-kiau.Kiau-seng merupakan orang-orang Tionghoa yang bukan
asli,yaitu oleh lamanya tinggal di Hindia Belanda dan dianggap kurang beradat
serta tidak menguasai bahasa resmi Kuo-Yu kecuai bahasa lokal.Sedang hoa-kiau
yaitu golongan perantauan yang merasa dirinya masih murni,yang menganggap
tinggal di Hindia Belanda hanya sekedar sementara saja mencari kekayaan lalu
nanti pulang kembali ke tanah leluhur ( Tiongkok).Golongan tersebut yang
bersikeras memegang kewarganegaraan Tiongkok dan tidak mau melepaskannya,memperjuangkan
hak,bahwa orang-orang berdarah Tionghoa,di mana pun mereka berada adalah dengan
sendirinya berwarganegaraan Tiongkok.Tapi,hal tersebut akhirnya diakui juga
pada tahun 1909 tentang ditetapkannya hak dwi-kewarganegaraan pada masa
pemerintahan gubernur jenderal A.W.F. Indenburg tetapi akhirnya dihapus juga
setelah Hindia Belanda menjadi Indonesia,yaitu pada tanggal 1955 dalam
kesepakatan yang ditandatangani oleh Mr.Soenario dan Chuo En Lai bersamaan
dengan dilangsungkannya konferensi Asia-Afrika di Bandung.
Perlu diketahui juga suatu fakta sebagai analogi bahwa
pada masa Hindia Belanda di Indonesia para etnis Tionghoa khususnya golongan hoa-kiau
mempunyai kedudukan yang strategis pada zaman itu.Mereka dipercaya oleh
pemerintah Hindia Belanda mendirikan sebuah majelis khusus Tionghoa yang
mengurus ‘bangsa’-nya di nusantara dengan nama majelis Kong Koan atau Raad
Van Chinezen.Tetapi terbalik pada zaman pendudukan Jepang pada saat itu
yang menangkap dan memenjarakan para pejabat Kong Koan tersebut kedalam sel
tahanan.Hal tesebut dilatar belakangi oleh anggapan para tentara Jepang bahwa semua
orang Tionghoa membela ABCD :American-British-Chinese-Dutch yaitu suatu
komando strategi defensif yang menghalau Jepang di Asia Tenggara.Begitu juga
para gubernur jenderal Belanda,tentara Inggris,Belanda,dan sebagian orang-orang
sipil keturunan Tionghoa juga ditahan dalam tahanan bawah
tanah.Konon,orang-orang tersebut akan dipindahkan ke kamp Formosa (sekarang
Vietnam) dan selanjutnya mereka akan diangkut oleh kapal milik Inggris yang
sebelumnya telah disita dan diledakkan bersama ditengah laut dengan
torpedo.Peristiwa peledakan kapal itu terjadi tepat pada pukul 12.00 malam yang
bersamaan dengan pergantian tahun dari 1944 ke 1945.
Fakta sejarah yang menarik juga dalam novel ini adalah bahwa pada tahun
1740 terjadi pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh Belanda terhadap
etnis Tionghoa di Jakarta sehingga orang – orang Tionghoa yang tersisa
melarikan diri ke Sewan di daerah Tangerang.Latar belakang pembunuhan massal
itu tidak diketahui secara pasti dalam novel ini.Sedangkan pada akhir masa pemerintahan
rezim Soeharto (Orde Baru) terjadi juga pembunuhan besar-besaran oleh rakyat
Indonesia terhadap etnis Tionghoa di Jakarta.Dimana peristiwa itu berlangsung
tragis berupa pembunuhan beserta penjarahan dan pembakaran ruko-ruko milik
mereka.Hal tersebut dapat dijadikan bukti mengenai suatu pernyataan yang menyatakan
sejarah itu bisa saja berulang,tetapi pelaku,saksi,tempat,masa dan latar belakang
peristiwanya selalu berbeda.
Demikianlah berbagai fakta sejarah tentang peran etnis Tionghoa pada perjuangan
kemerdekaan Indonesia.Selama ini yang ditulis dalam sejarah umum adalah peran
para pejuang pribumi saja yang dielu-elukan tentang bagaimana usaha
memperjuangkan kemerdekaan tanpa melihat sisi lain dari etnis Tioanghoa yang
tergolong minoritas pada waktu itu.Novel ini juga membantah suatu pernyataan
bahwa etnis Tionghoa di Indonesia bukan hanya selalu berkonotasi negatif yaitu
sama halnya dengan para imperialisme lain yang memanfaatkan kekayaan sumber
daya alam Indonesia demi kepentingan kekayaan golongan.Namun,secara lebih
eksplisit mengungkap bahwa pada golongan etnis tertentu khususnya golongan kiau-seng
juga menginginkan Indonesia merdeka tanpa ada imperialisme dari bangsa lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar