Sabtu, 19 Mei 2012

PERAN ETNIS TIONGHOA DALAM SEJARAH KEMERDEKAAN INDONESIA


PERAN ETNIS TIONGHOA DALAM SEJARAH KEMERDEKAAN INDONESIA

            Dewasa ini,begitu banyak novel bertemakan sejarah dipasaran.Tak begitu sulit bila kita pergi ke toko buku atau perpustakaan umum dan mencari novel – novel bertemakan sejarah yang memang apabila dibaca dapat menambah wawasan tersendiri bagi kita yang ingin menikmati nuansa sejarah dalam bentuk penyampaian cerita yang berbeda ketika kita membaca buku sejarah umum.Penyampaian ilustrasi yang ditulis dalam novel sejarah seakan menghipnotis pembaca untuk turut serta merasakan dan seakan – akan hidup pada zaman sejarah tersebut.Hal ini menjadi alternatif  bagi para penikmat sejarah yang ingin memperluas pengetahuan sejarahnya dengan nuansa yang berbeda.Karena ternyata banyak sekali sejarah yang belum ditulis dan bahkan banyak juga sejarah yang direkayasa ceritanya demi kepentingan politik semata.
            Novel berjudul “ Ca Bau Kan ( Hanya Sebuah Dosa ) ’’ yang dikarang oleh seorang novelis ulung yang dikenal setia menekuni novel bergenre sejarah yaitu “ Remy Sylado ’’.Dua karyanya yang juga bergenre sejarah adalah Diponegoro dan Parisj van Java.Novel ini bercerita mengenai kehidupan masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1918 – 1951.Salah satu yang ditonjolkan adalah peranan beberapa anggota masyarakat keturunan Tionghoa dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia.Dengan demikian,novel ini membantah pandangan stereotip yang menyatakan bahwa keturunan Tionghoa tidak memiliki andil dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
            Begitu banyak fakta sejarah yang disajikan oleh Remy Syalado dalam novel ini yang dalam sejarah kemerdekaan Indonesia tidak pernah disebutkan kiprahnya sebagai pejuang bangsa.Tan Peng Liang seorang  yang dikenal sebagai pengusaha kaya pada kalangan etnis Tionghoa ternyata sangat berpengaruh dalam lika – liku perjalanan kemerdekaan Indonesia.Ia berkiprah sebagai penyelundup senjata bagi kepentingan perjuangan kemerdekaan Indonesia di tanah kelahirannya yaitu Semarang.Meskipun tidak andil secara langsung dalam peperangan melawan tentara Jepang pada saat itu.Namun, persoalan senjata memang sangat penting sebagai kekuatan untuk melawan musuh.Kiprahnya sebagai penyelundup senjata itu tidak tanggung – tanggung selama tiga kali ia bolak – balik Indonesia – Muangthai untuk menyelundupkan senjata.Pertama,senjata itu diperuntukkan untuk mempertahankan Semarang dari tentara Jepang (Kido Butai) yang bermaksud menggempur Yogya,Solo dan Semarang.Kedua,senjata itu diperuntukkan untuk tentara rakyat yang dipimpin oleh Soetardjo Rahardjo pasca pertempuran lima hari di Semarang yang dilatar belakangi oleh penolakan tentara Jepang terhadap pelucutan senjata ditambah kedatangan NICA sebagai organisasi yang diboncengi oleh AFNEI sudah mempersenjatai KNIL.Ketiga,senjata itu diperuntukkan untuk kepentingan peperangan antara tentara rakyat daerah Bandung (Max Awuy) pasca pembumihangusan kota Bandung (Bandung lautan api) untuk berperang melawan pemberontakan TII yang dipimpin Kurtosuwiryo dan Belanda beserta antek Negara Pasundannya. Jadi,secara eksplisit bisa dibilang Tan Peng Liang sebagai pembantu finansial dalam bidang ekonomi untuk ruang lingkup jual-beli senjata serta penyelundupnya.
Begitu juga ayahnya Tan Tiang Tjing yang pada zaman pendudukan Jepang dipercaya duduk dalam lembaga Jawa Hokaido,yaitu alat penjalin komunikasi dengan organisasi – organisasi pendukung kemerdekaan Indonesia yang dibentuk dan dibina oleh Gunseikanbu.Yang tidak lain kiprahnya dengan Soetardjo Rahardjo (keponakan Tan Tiang Tjing) bersama diam – diam dengan amat rahasia membagi informasi kepada pihak BPKP (Badan Pembantu Keluarga Prajurit) yang populer disebut Bodjong 89 yang bergaris nasional dan revolusioner.
            Novel ini juga membedah tentang sejarah kota Jakarta, lengkap dengan latar lanskap kota ketika itu. Dengan amat konsisten, semua nama jalan ditulis dengan nama lahirnya. Misalkan Molenvliet sebagai nama tua dari Jl. Hayam Wuruk dan Gajah Mada atau Gang Chaulan untuk Jl. Hasyim Ashari,Grote Zuidenwerg yang kini menjadi Jl.Gunung Sahari,Wilhelmina Park menjadi Masjid Istiqlal,gedung Schouwburg yang kini menjadi Gedung Kesenian Jakarta dan masih banyak lagi yang lain.
Sejarah tentang status kewarganegaraan etnis Tionghoa juga ditulis secara deskriptif dalam novel ini.Pada masa prakemerdekaan Indonesia para etnis Tionghoa telah tinggal di Indonesia sejak lama sebelum kedatangan pemerintah Hindia Belanda ke nusantara.Dalam pengklasifikasian mengenai status kewarganegaraan ini ada dua golongan yaitu kiau-seng dan hoa-kiau.Kiau-seng merupakan orang-orang Tionghoa yang bukan asli,yaitu oleh lamanya tinggal di Hindia Belanda dan dianggap kurang beradat serta tidak menguasai bahasa resmi Kuo-Yu kecuai bahasa lokal.Sedang hoa-kiau yaitu golongan perantauan yang merasa dirinya masih murni,yang menganggap tinggal di Hindia Belanda hanya sekedar sementara saja mencari kekayaan lalu nanti pulang kembali ke tanah leluhur ( Tiongkok).Golongan tersebut yang bersikeras memegang kewarganegaraan Tiongkok dan tidak mau melepaskannya,memperjuangkan hak,bahwa orang-orang berdarah Tionghoa,di mana pun mereka berada adalah dengan sendirinya berwarganegaraan Tiongkok.Tapi,hal tersebut akhirnya diakui juga pada tahun 1909 tentang ditetapkannya hak dwi-kewarganegaraan pada masa pemerintahan gubernur jenderal A.W.F. Indenburg tetapi akhirnya dihapus juga setelah Hindia Belanda menjadi Indonesia,yaitu pada tanggal 1955 dalam kesepakatan yang ditandatangani oleh Mr.Soenario dan Chuo En Lai bersamaan dengan dilangsungkannya konferensi Asia-Afrika di Bandung.
Perlu diketahui juga suatu fakta sebagai analogi bahwa pada masa Hindia Belanda di Indonesia para etnis Tionghoa khususnya golongan hoa-kiau mempunyai kedudukan yang strategis pada zaman itu.Mereka dipercaya oleh pemerintah Hindia Belanda mendirikan sebuah majelis khusus Tionghoa yang mengurus ‘bangsa’-nya di nusantara dengan nama majelis Kong Koan atau Raad Van Chinezen.Tetapi terbalik pada zaman pendudukan Jepang pada saat itu yang menangkap dan memenjarakan para pejabat Kong Koan tersebut kedalam sel tahanan.Hal tesebut dilatar belakangi oleh anggapan para tentara Jepang bahwa semua orang Tionghoa membela ABCD :American-British-Chinese-Dutch yaitu suatu komando strategi defensif yang menghalau Jepang di Asia Tenggara.Begitu juga para gubernur jenderal Belanda,tentara Inggris,Belanda,dan sebagian orang-orang sipil keturunan Tionghoa juga ditahan dalam tahanan bawah tanah.Konon,orang-orang tersebut akan dipindahkan ke kamp Formosa (sekarang Vietnam) dan selanjutnya mereka akan diangkut oleh kapal milik Inggris yang sebelumnya telah disita dan diledakkan bersama ditengah laut dengan torpedo.Peristiwa peledakan kapal itu terjadi tepat pada pukul 12.00 malam yang bersamaan dengan pergantian tahun dari 1944 ke 1945.
Fakta sejarah yang menarik juga dalam novel ini adalah bahwa pada tahun 1740 terjadi pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh Belanda terhadap etnis Tionghoa di Jakarta sehingga orang – orang Tionghoa yang tersisa melarikan diri ke Sewan di daerah Tangerang.Latar belakang pembunuhan massal itu tidak diketahui secara pasti dalam  novel ini.Sedangkan pada akhir masa pemerintahan rezim Soeharto (Orde Baru) terjadi juga pembunuhan besar-besaran oleh rakyat Indonesia terhadap etnis Tionghoa di Jakarta.Dimana peristiwa itu berlangsung tragis berupa pembunuhan beserta penjarahan dan pembakaran ruko-ruko milik mereka.Hal tersebut dapat dijadikan bukti mengenai suatu pernyataan yang menyatakan sejarah itu bisa saja berulang,tetapi pelaku,saksi,tempat,masa dan latar belakang peristiwanya selalu berbeda.
Demikianlah berbagai fakta sejarah tentang peran etnis Tionghoa pada perjuangan kemerdekaan Indonesia.Selama ini yang ditulis dalam sejarah umum adalah peran para pejuang pribumi saja yang dielu-elukan tentang bagaimana usaha memperjuangkan kemerdekaan tanpa melihat sisi lain dari etnis Tioanghoa yang tergolong minoritas pada waktu itu.Novel ini juga membantah suatu pernyataan bahwa etnis Tionghoa di Indonesia bukan hanya selalu berkonotasi negatif yaitu sama halnya dengan para imperialisme lain yang memanfaatkan kekayaan sumber daya alam Indonesia demi kepentingan kekayaan golongan.Namun,secara lebih eksplisit mengungkap bahwa pada golongan etnis tertentu khususnya golongan kiau-seng juga menginginkan Indonesia merdeka tanpa ada imperialisme dari bangsa lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar