KEKUATAN-KEKUATAN POLITIK PADA KERAJAAN BERCORAK BUDHA
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Perjalanan
sejarah Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan pengaruh perkembangan agama
Budha pada zaman kuno periodisasi sejarah Indonesia.Akibat perdagangan dan
pelayaran orang-orang India khususnya para biksu atau pendeta agama Budha yang
datang dengan tujuan ganda untuk berdagang dan menyebarkan agama Budha telah
melahirkan kerajaan-kerajaan bercorak Budha di Indonesia .
Sejalan
dengan berdirinya kerajaan-kerajaan bercorak Budha di Indonesia .Secara tidak
langsung dalam pemerintahan kerajaan-kerajaan tersebut terdapat
kekuatan-kekuatan politik yang merupakan ciri khas dari masing-masing kerajaan
sebagai upaya untuk hegemoni politik dan perluasan wilayah kekuasaan serta demi
kesejahteraan rakyat pada kerajaan tersebut.Kekuatan-kekuatan politik yang
mereka bangun untuk kesejahteraan negeri tentu saja tidak terlepas dari peran
Negara-negara tetangga khususnya kerajaan-kerajaan di wilayah Asia Tenggara dan
terlebih khusus lagi peran kekaisaran Cina dan India yang turut serta mendukung
terlaksanya kekuatan politik yang berlangsung.
Pengetahuan
tentang sistem politik dan perkembangan kerajaan Budha di Indonesia tampaklah
sangat jarang dikaji oleh sejarawan Indonesia.Hal ini dikarenakan sumber
sejarah yang didapat sangatlah sulit dan tidak jelas.Belum lagi diketahui bahwa
hanya empat kerajaan yang berkembang di Nusantara yang memiliki corak sebagai
kerajaan Budha.
Diharapkan
setelah dipaparkan lebih rinci mengenai sumber sejarah,perkembangan kerajaan
dan kekuatan-kekuatan politik pada kerajaan bercorak Budha ini semakin menambah
pengetahuan tentang sejarah kerajaan bercorak Budha pada umumnya.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan
masalah dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana
proses masuknya pengaruh agama Budha di Indonesia?
2. Bagaimana perkembangan kerajaan-kerajaan Budha yang ada
di Indonesia?
3. Bagaimana
kekuatan-kekuatan politik pada kerajaan-kerajaan bercorak Budha di Indonesia?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Adapun
tujuan dan manfaat
dalam makalah ini adalah :
1. Mengetahui
proses masuknya pengaruh agama Budha di Indonesia
2. Mendeskripsikan
perkembangan kerajaan-kerajaan Budha yang ada di Indonesia
3. Mendeskripsikan
kekuatan-kekuatan politik pada kerajaan-kerajaan bercorak Budha di Indonesia
PEMBAHASAN
2.1 Proses Masuknya Pengaruh Budha di Indonesia
A. Sejarah Lahirnya Agama Budha
Pada mulanya agama Budha bukanlah
agama, dalam arti adanya Tuhan atau Dewa yang dipuja, melainkan suatu ajaran
yang bertujuan membebaskan manusia dari lingkaran samsara ( moksa ). Pada mulanya Budha merupakan
salah satu sekte yang ada pada kepercayaan Hindu,kedudukannya sama dengan
ajaran-ajaran lainnya seperti Wedanta,Samkhya dan Yoga. Agama Budha merupakan
agama yang inti ajarannya sangat berbeda dengan kepercayaan awal Hindu.Dalam
agama Budha terdapat sebuah kitab suci yang bernama Tripittaka dan bahasa yang
digunakan bukanlah bahasa Sanskerta seperti pada kitab Weda, melainkan bahasa
Pali yang pada mulanya merupakan bahasa rakyat daerah Magandha.
Pendiri agama Budha adalah seorang
anak raja yang bernama Siddhartha Gautama. Siddhartha dilahirkan di Taman
Lumbini dekat ibukota kerajaan keluarga Cakya, Kapilawastu pada tahun 563 SM. Ketika
ia lahir,para ahli nujum raja meramal bahwa kelak dikemudian hari Siddhartha
akan menjadi penguasa dunia, tetapi terdapat dua kemungkinan yang belum pasti
yaitu antara menjadi cakrawartin(raja besar) atau Buddha.Akhirnya setelah besar
ternyata Siddharta memilih untuk meninggalkan istana dan mengabaikan
kemewahan,istri serta anaknya.Ia kemudian mengembara sebagai pendeta dan
mencari pengetahuan sejati akan makna hidup.Hingga akhirnya ia bersemedi di
bawah pohon dan berhasil melewati masa-masa sulit serta menjadi Buddha.Kemudian
selama 45 tahun ia menyebarkan ajarannya dan akhirnya berhasil mendapat
pengikut yang besar dari segaa lapisan masyarakat.Hal ini dikarenakan agama Budha
sepeninggal Siddhartha ,agama Budha terbagi menjadi dua macam aliran yaitu:
- Budha Hinayana, yaitu setiap orang dapat mencapai nirwana atas usahanya sendiri.
- Budha Mahayana, yaitu orang dapat mencapai nirwana dengan usaha bersama dan saling membantu.
B. Proses Masuknya Pengaruh Budha ke Indonesia
Menurut beberapa ahli menyatakan
bahwa masuknya pengaruh Budha ke Indonesia hampir bersamaan dengan masuknya
pengaruh Hindu di Indonesia.Hal ini dapat diketahui bahwa meski pengaruh Budha
tidak begitu kuat pada kebudayaan dan system politik pada kerajaan-kerajaan
yang ada di Indonesia,namun pengaruh Budha merupakan salah satu pendukung
penulisan sejarah Indonesia jaman kuno.
Pendapat mengenai proses masuknya
pengaruh Budha di Indonesia datang dari seorang sejarawan yang bernama Bosch
yang mengamatinya dari sifat unsure-unsur budaya India yang tercermin dalam
budaya Indonesia,ia berpendapat hanya golongan cendekiawan yang dapat
menyampaikan ajaran kepada bangsa Indonesia.Golongan cendekiawan itu disebut
“clerks” yang berproses pada dua jenis proses.Proses pertama adalah melalui
pendeta agama Budha.Hal ini dapat dilihat karena awal hubungan dagang antara
Indonesia dan India bertepatan pula dengan perkembangan yang pesat dari agama
Budha.
Pendeta-pendeta agama tersebut
menyebar ke seluruh penjuru dunia melalui jalan-jalan perdagangan tanpa
menghiraukan kesulitan-kesulitannya.Mereka mendaki pegununngan Himalaya untuk
menyebarkan agamanya di Tibet,China dan negara-negara di asia yang lain dengan
jalan mengadakan hubungan yang baik dengan kalangan istana serta mengajarkan agama
mereka.Kemudian dibentuklah sebuah sanggaha dengan biksu-biksunya.Dalam hal ini
dengan datangnya biksu-biksu dari India ke negeri-negeri di luar India ternyata
mengandung arus biksu tersebut untuk menuntut ilmu agama Budha di India.Teori
ini disebut teori arus balik. Dalam penelitian yang dilakukan Bosch terdapat
kesimpulan bahwa ternyata baik di Indonesia maupun di Asia Tenggara lainnya
telah tumbuh seni agama Budha yang jelas bercorak nasional.Gejala yang tampak
pada seni budaya ini kemudian berdampak pula pada bidang-bidang lain akibat
pengaruh agama Budha.
Pengaruh
Budha di Indonesia tampak pada munculnya kerajaan-kerajaan yang bercorak Budha.Pada
perkembangan pengaruh Budha, sistem
paling mencolok pada sistem kemasyarakatan dan hasil kebudayaan yang
berkembang pada kerajaan-kerajaan yang bercorak Budha.Sedang system politik dan
struktur pemerintahan secara dominan karena pengaruh Hindu.
2.2 Perkembangan Kerajaan-Kerajaan yang Bercorak
Budha di Indonesia
Kerajaan
bercorak Budha di Indonesia merupakan suatu minoritas. Hampir semua
kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia hingga abad ke-16 bercorak Hindu dan
islam.meskipun begitu pengaruh Budha pada kerajaan-kerajaan yang ada di
Indonesia akhirnya melahirkan suatu peradaban yang bersejarah bagi perkembangan
sejarah Indonesia dikemudian hari.Di Indonesia terdapat 4 kerajaan yang
bercorak Budha dan salah satunya
merupakan akulturasi dari corak Hindu dan Budha. Adapun perkembangan
kerajaan-kerajaan yang bercorak Budha tersebut adalah:
1. Kerajaan
Melayu Kuno
·
Sumber Sejarah dan Perkembangan Kerajaan Melayu Kuno
Jambi merupakan
wilayah yang terkenal dalam literatur kuno. Nama negeri ini sering disebut
dalam prasasti-prasasti dan juga berita-berita China. Ini merupakan bukti
bahwa, orang Cina telah lama memiliki hubungan dengan Jambi, yang mereka sebut
dengan nama Chan-pei. Diperkirakan, telah berdiri tiga kerajaan Melayu Kuno di
Jambi, yaitu Koying (abad ke-3 M), Tupo (abad ke-3 M) dan Kantoli (abad ke-5).
Seiring perkembangan sejarah, kerajaan-kerajan ini lenyap tanpa banyak
meninggalkan jejak sejarah.
Dalam sejarahnya, negeri ini pernah
dikuasai oleh beberapa kekuatan besar, mulai dari Sriwijaya, Singosari,
Majapahit, Malaka hingga Johor-Riau. Terkenal dan selalu menjadi rebutan
merupakan tanda bahwa Jambi sangat penting pada masa dulu. Bahkan, berdasarkan
temuan beberapa benda purbakala, Jambi pernah menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya.
Menurut data
Cina Koying telah melakukan perdagangan dalam abad ke 3 M juga di Pasemah
wilayah Sumatra Selatan dan Ranau wilayah Lampung telah ditemukan petunjuk
adanya aktivitas perdagangan yang dilakukan oleh Tonkin atau Tongkin dan
Vietnam atau Fu-nan dalam abad itu juga. Malahan keramik hasil zaman dinasti
Han (abad ke 2 SM sampai abad ke 2 M) di temukan di wilayah Sumatera tertentu.
Kerajaan Koying terdapat dalam catatan Cina yang dibuat oleh K’ang-tai dan
Wan-chen dari wangsa Wu (222-208) tentang adanya negeri Koying. Tentang negeri
ini juga dimuat dalam ensiklopedi T’ung-tien yang ditulis oleh Tu-yu (375-812)
dan disalin oleh Ma-tu-an-lin dalam ensiklopedi Wen-hsien-t’ung-k’ao.
Diterangkan bahwa di kerajaan Koying terdapat gunung api dan kedudukannya 5.000
li di timur Chu-po (Jambi). Di utara Koying ada gunung api dan di sebelah
selatannya ada sebuah teluk bernama Wen.Sedang berita Cina yang menunjukkan
tentang keberadaan Kerajaan Tupo dan Kantoli tidak diketahui secara pasti.
Setelah Koying, Tupo dan Kantoli
runtuh, kemudian berdiri Kerajaan Melayu Jambi. Berita tertua mengenai kerajaan
ini berasal dari T’ang-hui-yao yang disusun oleh Wang-p’u pada tahun 961 M, di
masa pemerintahan dinasti T’ang dan Hsin T’ang Shu yang disusun pada awal abad
ke-7, M di masa pemerintahan dinasti Sung. Diperkirakan, Kerajaan Melayu Jambi
telah berdiri sekitar tahun 644/645 M, lebih awal sekitar 25 tahun dari
Sriwijaya yang berdiri tahun 670. Harus diakui bahwa, sejarah tentang Melayu
kuno ini masih gelap. Sampai sekarang, data utamanya masih didasarkan pada
berita-berita dari negeri Cina, yang terkadang sulit sekali ditafsirkan. Namun,
dibandingkan daerah lainnya di Sumatera, data arkeologis yang ditemukan di
Jambi merupakan yang terlengkap. Data-data arkeologis tersebut terutama berasal
dari abad ke-9 hingga 14 M. Untuk keluar dari kegelapan sejarah tersebut, maka,
sejarah mengenai Kerajaan Melayu Jambi berikut ini akan lebih terfokus pada
fase pasca abad ke-9, terutama ketika Aditywarman mendirikan Kerajaan
Swarnabhumi di daerah ini pada pertengahan abad ke-14 M.
Ketika Sriwijaya runtuh akibat
serangan Kerajaan Cola dari India pada tahun 1025 M, para bangsawan Sriwijaya
banyak yang melarikan diri ke hulu Sungai Batang Hari, dan bergabung dengan
Kerajaan Melayu yang memang sudah lebih dulu berdiri, tapi saat itu menjadi
daerah taklukannya. Lebih kurang setengah abad kemudian, sekitar tahun 1088 M,
keadaan berbalik, Kerajaan Melayu Jambi menaklukkan Sriwijaya yang memang sudah
di ambang kehancuran.
Kerajaan Melayu Jambi mulai
berkembang lagi, saat itu, namanya adalah Dharmasraya. Sayang sekali, hanya
sedikit catatan sejarah mengenai Dharmasraya ini. Rajanya yang bernama Shri
Tribhuana Raja Mauliwarmadhewa (1270-1297) menikah dengan Puti Reno Mandi. Dari
pernikahan ini, kemudian lahir dua orang putri: Dara Jingga dan Dara Petak.
2. Kerajaan
Kalingga (holing)
·
Sumber Sejarah
Menurut buku sejarah baru Dinasti Tang (618-906 M) mencatat bahwa
pada tahun 674 M seorang musafir
Tionghoa bernama I-Tsing pernah mengunjungi Negeri Holing .(footnote)
Holing ( Chopo ) adalah nama lain dari kerajaan , menurut bukti- bukti
China letak kerajaan Kalingga atau Holing ini secara pastinya belum
dapat ditentukan. Ada beberapa argumen mengenai letak kerajaan ini, ada yang
menyebutkan bahwa negara ini terletak di Semenanjung Malaya, di Jawa Barat dan
di Jawa Tengah. Tetapi letak yang paling mungkin ada di daerah antara
Pekalongan dan Plawanagan di Jawa Tengah.
J.L. Moens dalam menentukan letak
Kerajaan Holing meninjau dari segi perekonomian, yaitu pelayaran dan
perdagangan. Menurutnya, Kerajaan Holing selayaknya terletak di tepi Selat
Malaka, yaitu di Semenanjung Malaya. Alasannya, Selat Malaka merupakan selat
yang sangat ramai dalam aktifitas pelayaran perdagangan saat itu. Pendapat J.L.
Moens itu diperkuat dengan ditemukannya sebuah daerah di Semenajung Malaya yang
bernama daerah Keling.(footnote)
Kerajaan Kalingga atau Holing adalah kerajaan yang terpengaruh oleh ajaran agama
Budha. Sehingga Holing menjadi pusat pendidikan agama Budha. Sebagai pusat pendidikan Budha, akhirnya menarik seorang pendeta Budha dari Cina
menuntut ilmu di Holing. Pendeta itu bernama Hou Ei- Ning, Ia ke kerajaan Kalingga untuk
menerjemahkan Kitab Hinayana dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina . Usahanya ini dibantu oleh seorang Jawa bernama Pandita
Jnanabadhara yang merupakan sahabatnya.(footnote) Menurut keterangan dari Dinasti
Sung, kitab yang diterjemahkan oleh Hui-Ning adalah bagian terakhir kitab
Parinirvana yang mengisahkan tentang pembukaan jenazah Sang Budha.
·
Perkembangan Kerajaan Kalingga
Sejarah konkret tentang
berdirinya kerajaan Kalingga memang sangat sulit ditemukan.Namun,jika dilihat
dari namanya Kerajaan
Kalingga kemungkinan didirikan oleh sekelompok orang India yang mengungsi dari
sebelah timur India ke Nusantara. Dugaan ini didasarkan pada laporan tentang
penghancuran daerah Kalingga di India pada pemerintahan Raja Harsja. Orang
Kalingga yang tersisa melarikan keluar negeri.Teori ini belum diketahui secara
pasti kebenarannya karena memang hanya sebatas sebuah analisis belaka.
Pendiri kerajaan Kalingga dari segi historis tidak diketahui
secara pasti.Namun,dapat dianalisis bahwa pada zaman keemasannya pernah
memerintah seorang Ratu bernama Ratu Sima yang terkenal dengan kebijaksanaannya.Hingga
karena sikap bijaksanaya tersebut ia rela memotong kaki putranya karena tak
sengaja melakukan perbuatan buruk.Rakyatnya sangat sejahtera dan senantiasa
patuh pada perintahnya.
3. Kerajaan
Sriwijaya
·
Sumber Sejarah
Kerajaan Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya) adalah salah satu
kerajaan maritim yang kuat di pulau Sumatera banyak memberi pengaruh di
Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand,
Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.Sumber-sumber
sejarah yang mendukung tentang keberadaan Kerajaan Sriwijaya berasal dari
berita asing dan prasasti-prasasti.
Berita
asing dari berbagai Negara yang pernah menjalin hubungan dagang dan diplomatik dengan
kerajaan Sriwijaya ketika pelayarannya pasti menuliskan suatu catatan penting
tentang keberadaan kerajaan Sriwijaya.Sumber berita asing paling awal berasal
dari berita Cina yang ditulis berdasarkan catatan seorang pendeta Budha yang
bernama I-tsing yang singgah di kerajaaan Sriwijaya(Shih-li-fo-shih) pada tahun
672 M selama enam bulan untuk belajar tata bahasa Sansekerta.Setelah itu,
baru ia berangkat ke Nalanda, India. Setelah lama belajar di Nalanda, tahun 685
I-tsing kembali ke Sriwijaya dan tinggal selama empat tahun untuk
menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina. (footnote).Namun
kemudia pada tahun 692 M ,I-tsing datang kembali ke Sriwijaya dan menuliskan
bahwa pada kerajaan Sriwijaya(Fo-shih) dikelilingi benteng dan lebih dari seribu pendeta Budha belajar agama Budha
seperti ajaran agama di India yang beraliran Mahayana.Selain berita asing dari
Cina juga terdapat berita asing dari negeri Arab danIndia.
Pernyataan I-tsing tentang kerajaan Sriwijaya diperkuat
dengan ditemukannya lima buah prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya yang
kesemuannya ditulis dengan huruf Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno.Prasasti
tertua adalah prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di tepi sungai
Tatang.Prasasti ini menjelaskan tentang adanya seorang raja yang memrintah di
Kerajaan Sriwijaya bernama Dapunta Hyang yang merupakan raja pertama kerajaan
tersebut.Prasasti ini berangka tahun 605 S atau 632 M dan terdiri dari 10
baris.(footnote).Masih banyak prasasti lain yang membuktikan tentang keberadaan
Kerajaan Sriwijaya,antara lain:Prasasti Talangtuo,Prasasti Nalanda,prasasti
Telaga Batu,prasasti Kota Kapur,prasasti Karang Berahi dan prasasti Ligor.
·
Perkembangan Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya adalah
kerajaan maritim pertama yang sukses menancapkan kekuasaannya di berbagai
wilayah di nusantara bahkan terkenal hingga kawasan regional Asia Tenggara dan
Asia Selatan.Kerajaan ini didirikan oleh seorang raja yang bernama Dapunta Hyang.Mulai
abad ke-7, Sriwijaya telah melakukan penaklukan untuk berperan sebagai negara
maritim. Penguasaan jalur perdagangan dan melimpahnya komoditas perdagangan di
daerah yang dikuasai Sriwijaya, membuat kerajaan ini menjadi sebuah emporium
(pusat perdagangan) selama berabad-abad. Pedagang dari berbagai negara singgah di
pelabuhan Sriwijaya untuk melakukan transaksi dagang. Sriwijaya juga memungut
bea cukai bagi setiap kapal yang singgah di pelabuhannya. Hal inilah yang
menjadi tambang uang bagi Sriwijaya, di samping transaksi barang dagangan.
Sebagai negara induk, setiap tahun Sriwijaya menerima upeti dari
negara-negara bawahan berupa hasil bumi, perak, dan emas atau barang lainnya
dengan jumlah yang telah ditentukan (Slamet, 1981:81). Dikatakan oleh I-Tsing,
seorang pendeta Buddha yang 2 kali menetap di Sriwijaya, bahwa pada akhir abad
ke-7 negara Sriwijaya sangat makmur. Dikatakan bahwa rakyat memberikan sesaji
bunga teratai emas kepada arca Buddha; dalam upacara agama tampak perabotan dan
arca-arca serba emas. Rakyat dari segala lapisan berlomba memberikan sedekah
kepada para pendeta (Slamet, 1981:81).
Selain berfungsi sebagai emporium, Sriwijaya juga dikenal sebagai
pusat agama Buddha di tanah Melayu. Raja-raja Sriwijaya dikenal sebagai
pelindung agama Buddha dan penganut yang taat, seperti dapat dilihat dalam
Prasasti Nalanda dan berita Tiongkok (Marwati & Nugroho, 1993 :75-76).
Menurut Marwati & Nugroho (1993) , sampai abad ke-11, Kerajaan
Sriwijaya masih merupakan pusat pengajaran agama Buddha yang bertaraf
internasional. Pada masa pemerintahan Raja Sri Cudamaniwarmadewa (abad ke-11),
seorang pendeta Buddha bernama Dharmakrti menyusun kritik tentang sebuah kitab
ajaran agama Buddha bernama Abhisamayalandara. Kemudian pada 1011-1023 M,
seorang biksu dari Tibet bernama Atisa, datang ke Sriwijaya untuk belajar agama
kepada Dharmakrti. Sedangkan dari berita Tiongkok, diperoleh keterangan bahwa
pada 1003 M, Raja Sri Cudamaniwarmadewa mengirimkan dua utusan ke Tiongkok
untuk membawa upeti. Mereka mengatakan bahwa di negaranya didirikan sebuah
bangunan suci agama Buddha untuk memuja agar kaisar panjang umur. Mereka
memohon agar kaisar memberikan nama dan genta. Bangunan suci itu kemudian
diberi nama Cheng-thien-wa-shou (Marwati & Nugroho, 1993:68-69).
Kejayaan Sriwijaya akhirnya mulai surut karena terjadi beberapa kali
penyerangan (perang) yang dilakukan oleh Kerajaan Cola dan pasukan dari Jawa.
Kerajaan Cola melakukan 3 kali penyerangan terhadap Sriwijaya, yaitu pada 1017
M yang dipimpin oleh Rajendracoladewa, 1025 M, dan 1068 M yang dipimpin oleh
Wirajayendra (Marwati & Nugroho, 1993:69-70). Penyerangan yag dilakukan
oleh Kerajaan Cola pada abad ke-11 ternyata menggoyahkan Sriwijaya sebagai
kerajaan terbesar di tanah Melayu saat itu. Hal ini terbukti pada serangan
kedua (1025 M), raja Sriwijaya yang memerintah saat itu, yaitu Sri
Sangramawijayottunggawarman dapat ditawan oleh tentara dari Kerajaan Cola
(Marwati & Nugroho, 1993:69).Penyebab penyerangan Kerajaan Cola terhadap
Sriwijaya, sampai saat ini belum diketahui secara jelas. Padahal sebelumnya
telah terjadi hubungan yang erat antara Sriwijaya dengan Kerajaan Cola,
sebagaimana hubungan segitiga antara Sriwijaya-Tiongkok-India.
4. Kerajaan
Mataram Kuno ( Wangsa Syailendra )
·
Sumber Sejarah
Nama Syailendra pertama kali dijumpai dalam Prasasti Kalasan yang berangka tahun
778 M. Ada beberapa sumber yang menyebutkan asal-usul keluarga Syailendra,
Nilakanta Sastri dan Moes yang berasal dari India dan menetap di Palembang
menyatakan bahwa pada tahun 683 M keluarga Syailendra melarikan diri ke Jawa karena
terdesak oleh Dapunta Hyang. Codes beranggapan bahwa Syailendra yang ada di Nusantara berasal dari Funan
(Kamboja). Kerusuhan yang terjadi di Funan mengakibatkan keluarga Kerajaan
Funan menyingkir ke Jawa dan menjadi penguasa di Mataram pada abad ke-8 M
dengan menggunakan nama Syailendra.
Menurut Purbatjaraka, Keluarga Syailendra adalah keturunan dari Wangsa
Sanjaya di era pemerintahan Rakai Panangkaran. Raja-raja dari keluarga
Sayilendra adalah asli dari Nusantara sejak Rakai Panangkaran berpindah agama
menjadi penganut agama Budha Mahayana. Pendapatnya tersebut berdasarkan Carita
Parahiyangan yang menyebutkan bahwa Sanjaya menyerahkan kekuasaanya di Jawa
Barat kepada puteranya dari Tejakencana, yaitu Rakai Tamperan atau Rakeyan
Panambaran dan memintanya untuk berpindah agama.
Selanjutnya
sumber seajarah lain terletak pada prasasti dan candi .Prasasti Sojomerto, menjelaskan bahwa Dapunta Syailendra adalah penganut agamat Siwa. Prasasti Kalasan
,yang berangka tahun 778 M merupakan prasasti peninggalan Wangsa Sanjaya. Prasasti ini menceritakan tentang pendirian Candi Kalasan
oleh Rakai Panagkaran atas permintaan keluarga Syailendra serta sebagai
penghadiahan desa Kalasan untuk umat Budha. Prasasti Klurak,yang berangka tahun 782 M, di daerah Prambanan menyebutkan tentang pembuatan
Arca Manjusri yang merupakan perwujudan Sang Budha, Wisnu dan Sanggha. Prasasti
ini juga menyebutkan nama raja yang berkuasa saat itu yang bernama Raja Indra. Prasasti
Ratu Boko, berangka tahun 865 M
menyebutkan tentang kekalahan Raja Balaputra Dewa dalam perang saudara melawan
kakaknya Pradhowardhani dan melarikan diri ke Palembang. Nama Syailendra juga muncul dalam Prasasti Klurak (782 M) “Syailendrawansantilakena”,
Prasasti Abhayagiriwihara (792 M) “Dharmmatunggadewasyasailendra”, Prasasti Kayumwunan (824 M) “Syailendrawansatilaka”.
2.3 Kekuatan-Kekuatan Politik Pada Kerajaan Bercorak
Budha di Indonesia
Sistem
perpolitikan yang berkembang pada kerajaan-kerajaan bercorak Budha di Indonesia
hampir sama dengan sistem politik yang berkembang pada kerajaan-kerajaan
bercorak Hindu.Bahkan hampir tidak ada perbedaan mengenai sistem pemerintahan
yang mencolok pada kerajaan-kerajaan bercorak Budha.Hal yang membedakan hanya
terdapat pada sistem kemasyarakatan pada kerajaan Budha tidak terdapat system
kasta dan semua lapisan masyarakat baik itu berupa rakyat ataupun golongan
bangsawan semuanya sama .Untuk lebih jelasnya kekuatan-kekuatan politik yang
dijalankan oleh kerajaan-kerajaan bercorak Budha adalah:
1.Kerajaan Melayu Kuno
·
Struktur Pemerintahan Kerajaan
Struktur pemerintahan kerajaan
Melayu kuno pada awal abad ke-3 hingga abad ke-9 belum diketahui secara
jelas.Hal ini karena sumber yang konkret mengenai system pemerintahan kerajaan
belum jelas dan pada masa tersebut Kerajaan Melayu Kuno di bawah penguasaan
kerajaan lain.Sedang pasca abad ke-9, kerajaan Melayu Kuno diperintah oleh
seorang raja yang terkenal saat itu bernama Adityawarman,yang mengganti nama
kerajaan Mealayu Kuno menjadi Kerajaan Swarnabhumi.
Silsilah
Di masa Kerajaan Dharmasraya, raja
yang dikenal hanyalah Shri Tribhuana Raja Mauliwarmadhewa (1270-1297).
Sementara raja-raja yang lain, belum didapat data yang lengkap. Di masa
Kerajaan Swarnabhumi, rajanya yang paling terkenal adalah Aditywarman. Namun,
ketika bergabung dengan Minangkabau, maka silsilah raja yang ada merupakan
silsilah raja-raja Minangkabau.
Periode
Pemerintahan
Agak rumit memaparkan bagaimana
periode pemerintahan berlangsung di Jambi, jika
pemerintahan tersebut diandaikan sebuah kerajaan merdeka yang bebas dari
pengaruh kekuasaan lain. Berdasarkan sedikit data sejarah yang tersedia,
tampaknya Jambi menikmati masa bebas dari pengaruh kerajaan lain hanya di masa
Kerajaan Melayu Kuno. Selanjutnya, ketika Sriwijaya berdiri, Jambi menjadi
daerah taklukan Sriwijaya, bahkan, menurut beberapa sumber yang, tentu saja
masih diperdebatkan, Jambi pernah menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya. Ketika
Sriwijaya runtuh dan muncul kekuatan Singosari di Jawa, Jambi menjadi daerah
taklukan Singosari. Ketika Singosari runtuh dan muncul kemudian Majapahit,
Jambi menjadi wilayah taklukan Majapahit.
Dalam perkembangan selanjutnya,
Jambi menjadi pusat Kerajaan Swarnabhumi yang didirikan Aditywarman. Ketika
pusat kerajaan Adityawarman berpindah ke Pagaruyung, Jambi menjadi bagian dari
Kerajaan Minangkabau di Pagaruyung. Ketika Malaka muncul sebagai sebuah
kekuatan baru di Selat Malaka, Jambi menjadi bagian dari wilayah Malaka. Malaka
runtuh, kemudian muncul Johor. Lagi-lagi, Jambi menjadi bagian dari Kerajaan
Johor. Demikianlah, Jambi telah menjadi target ekspansi setiap kerajaan besar
yang berdiri di Nusantara ini.
Wilayah Kekuasaan
Wilayah Kerajaan Jambi meliputi
daerah sepanjang aliran Sungai Batang Hari yang sekarang menjadi wilayah
Propinsi Jambi, yang berbatasan dengan wilayah Sumatera Barat, Riau dan
Sumatera Selatan.
2.Kerajaan Kalingga(Holing)
·
Struktur Pemerintahan Kerajaan
Struktur pemerintahan kerajaan Kalingga belum
ketahui secara jelas.Hal ini dikarenakan belum diketahui secara jelas.Pada
pemerintahan ratu Sima menurut sebuah
buku yang memaparkan tentang sejarah dinasti Tang kuno (618-906 ) yaitu buku
197 dan buku 222 bagian dua (footnote) yang member gambaran bahwa ibukota Kalingga
dikelilingi oleh pagar kayu. Penguasa Kalingga tinggal di sebuah istana bertingkat
dengan atap dari daun palma.Sang ratu duduk di singgasana yang terbuat dari
gading.
Kerajaan Kalingga saat itu diperintah oleh seorang
ratu terkenal tegas bernama Ratu Sima.Dalam sebuah kisah
diceritakan bahwa karena ketegasan dan kebijaksanaannya, barang-barang yang
tercecer di jalanan tidak ada yang berani memungutnya apalagi memilikinya.Dalam
kisah tersebut dikisahkan bahwa para
pejabat Mahapatih, patih, mahamenteri, dan menteri, hulubalang, jagabaya,jagatirta,
Ulu-ulu, pun segenap pimpinan divisi kerajaan sampai tukang Istal kuda, alias pengganti
tapal kuda, kuda-kuda tunggang kesayangannya, tak ada yang berani menentang
sabda pandita ratunya.Berarti dalam kisah ini secara tersirat menyebutkan bahwa
struktur pemerintahan telah disebutkan secara jelas diatas.
·
Upaya Mempertahankan Kekuasaan
Gambar:Keberadaan
Kerajaan Kalingga
Setiap kerajaan pasti
ada upaya-upaya tersendiri untuk mempertahankan kekuasaan.Cara yang dilakukan
pun berbeda-beda.Hal-hal yang dilakukan antara lain:
a.
Hubungan Diplomatik
Dengan Negara Lain
Ratu
Sima sebagai ratu di Kerajaan Kalingga memiliki hubungan diplomatik dengan
kerajaan lain .Hubungan diplomatik tersebut dibuktikan dengan berita asing yang berasal dari Cina yang menyebutkan bahwa Kerajaan Kalingga kerap
mengirim utusan untuk mempersembahkan upeti kepada Kaisar Cina. Pada tahun 813,
utusan Kalingga antara lain mempersembahkan empat budak dan burung kaktua dan
bulu aneka warna yang disebut burung p’in-chia. Dikabarkan bahwa Kaisar Cina
sangat senang dengan utusan tersebut sehingga memberikanya gelar.Selain itu
terdapat juga berita cina yang mengatakan bahwa dalam tahun 640 M dan 666 M
kerajaan ini mengirim utusannya ke Cina.Sumber mengenai hubungan diplomatik
dari kerajaan ini hanya mengutarakan bahwa hanya Cinalah yang memiliki hubungan
diplomatik yang baik dengan kerajaan Kalingga.
b.
Pemerintahan Ratu
Sima dan Stabilitas Perdagangan
Ratu
Sima sebagai raja dikerajaan Kalingga dengan suatu pemerintahan yang adil dan
bijaksana.Semua rakyat dan para bangsawan sangat menghormati beliau sebagai
seorang ratu meskipun saat itu keseteraan gender belum terdengar
gaungnya.Setiap titah dan perintahnya selalu dituruti oleh semua kalangan
rakyat hingga sang ratu kemudian khawatir karena kesetiaan rakyatnya yang
menurutnya berlebihan.Hingga pada suatu waktu ia menguji kesetiaan para bangsawan kerajaan dengan menguji kesetiaan lingkaran elitnya dengan memutasi dan
menukarkan posisi pejabat penting di lingkungan Istana. Namun puluhan pejabat
yang mendapat mutasi ditempat yang tak diharap, maupun yang dipensiunkan, tak
ada yang mengeluh dengan kebijakan sang ratu. Semua bersyukur, kebijakan Ratu
Shima sebetapapun memojokkannya, dianggap memberi barokah, titah titisan Sang
Hyang Maha Wenang.
Tak puas dengan sikap setia
lingkaran dalamnya, Ratu Shima, sekali lagi menguji kesetiaan rakyatnya dengan
menghamparkan emas permata, perhiasan yang tak ternilai harganya di perempatan
alun-alun dekat Istana tanpa penjagaan sama sekali.Ternyata tanpa disengaja
kaki sang putra mahkota menyentuh emas tersebut ,hingga sang ratu pun
mengetahuinya dan dengan berat hati demi terciptanya keadilan ia memutuskan
untuk menghukum mati putranya.Namun,rakyat Kalingga memohon agar hukuman mati
tersebut dibatalkan dan diganti dengan memotong kakinya saja dengan alasan
karena kakinya yang menyentuh emas tersebut.Sang ratu kemudian luluh hatinya
dan menuruti permintaan rakyatnya untuk membatalkan hukuman mati dan diganti
dengan pemotongan kaki terhadap putra mahkotanya.
. Hal itu dituliskan dengan jelas di
Prasasti Kalingga, yang masih bisa dilihat hingga kini.
Berkaitan
dengan stabilitas perdagangan yang berlangsung pada pemerintahan kerajaan
Kalingga dapat diketahui dengan banyak
ditemukan barang-barang yang bercirikan kebudayaan Dong-Song dan India. Hal ini
menunjukkan adanya pola jaringan yang sudah terbentuk antara Kalingga dengan
bangsa luar. Wilayah perdaganganya meliputi laut China Selatan sampai pantai
utara Bali. Tetapi perkembangan selanjutnya sistem perdagangan Kalingga
mendapat tantangan dari Sriwijaya, yang pada akhirnya perdagangan dikuasai oleh
Sriwijaya. Sehingga Sriwijaya menjadi kerajaan yang menguasai perdagangan pada
pertengahan abad ke-8.
·
Keturunan Ratu Sima
Dari berbagai sumber diketahui bahwa
kelak keturunan ratu Sima akan meneruskan pemerintahan kerajaan yang besar di
pulau Jawa.Ratu Sima memiliki seorang putrid bernama Parwati yang menikah
dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang bernama Mandiminyak yang kemudian
menjadi raja ke 2 dari Kerajaan Galuh.Ratu Sima memiliki cucu yang bernama
Sanaha yang menikah dengan raja ke 3 dari Kerajaan Galuh, yaitu Bratasenawa.
Sanaha dan Bratasenawa memiliki anak yang bernama Sanjaya yang kelak menjadi
raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732M).
Setelah ratu Sima mangkat di tahun
732M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara
yang kemudian disebut Bumi Mataram, dan kemudian mendirikan Dinasti atau Wangsa
Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada
putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan
Panaraban.Kemudian Raja Sanjaya menikahi Sudiwara puteri Dewasinga, Raja
Kalingga Selatan atau Bumi Sambara, dan memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran.
3.Kerajaan Sriwijaya
·
Struktur pemerintahan
Sebagai kerajaan
maritim, wilayah Sriwijaya ternyata membutuhkan pengawasan yang ekstra karena
luasnya kekuasaan kerajaan ini. Untuk menjaga eksistensi kekuasaan, Raja
Sriwijaya menerapkan beberapa kebijakan, misalnya saja dalam beberapa prasasti
dituliskan tentang kutukan bagi siapa saja yang tidak taat pada raja, seperti
dalam Prasasti Telaga Batu dan Kota Kapur. Fungsi ancaman (kutukan) ini
semata-mata untuk menjaga eksistensi kekuasaan seorang raja terhadap daerah
taklukannya (Marwati & Nugroho, 1993:71). Selain kutukan, terdapat pula
prasasti yang menjanjikan hadiah berupa kebahagiaan terhadap siapa saja yang
tunduk terhadap Sriwijaya, seperti yang tertulis pada Prasasti Kota Kapur.
Selain berisi kutukan,
Prasasti Telaga Batu juga memuat tentang penyusunan ketatanegaraan Sriwijaya,
seperti misalnya yuvaraja (putra mahkota), pratiyuvaraja (putra raja kedua),
rajakumara (putra raja ketiga), rajaputra (putra raja keempat), bhupati
(bupati), senapati (pemimpin pasukan), nayaka, pratyaya, haji pratyaya (orang
kepercayaan raja?), dandanayaka (hakim), tuha an vatak vuruh (pengawas kelompok
pekerja), addhyaksi nijavarna, vasikarana (pembuat pisau), kayastha (juru
tulis), sthapaka (pemahat), puhavam (nakhoda kapal), vaniyaga, pratisara, marsi
haji, hulunhaji (saudagar, pemimpin, tukang cuci, budak raja), datu, dan
kadatuan (Marwati & Nugroho, 1993:57).
Secara struktural, Raja
Sriwijaya memerintah secara langsung terhadap seluruh wilayah kekuasaan
(taklukan). Di beberapa daerah taklukan ditempatkan pula wakil raja sebagai
penguasa daerah. Wakil raja ini biasanya masih keturunan dari raja yang
memimpin. Maka masuk akal jika dijumpai pula prasasti yang berisi kutukan untuk
anggota keluarga kerajaan. Maksud dari kutukan ini adalah untuk menunjukkan
sikap keras dari raja yang berkuasa, sekaligus suatu sikap dari raja yang tidak
menghendaki kebebasan bertindak yang terlalu besar pada penguasa daerah
(Marwati & Nugroho, 1993:72). Sikap semacam ini sangat diperlukan untuk
menjaga eksistensi kekuasaan seorang raja sebagai penguasa tertinggi di
Sriwijaya. Sikap ini juga sekaligus dilakukan untuk meredam upaya kudeta yang
mungkin terjadi pada penguasa daerah, meskipun para penguasa tersebut masih
keluarga ataupun keturunan raja.
Kontrol kekuasaan juga
dilakukan melalui kekuatan militer. Sebagimana disebutkan dalam Prasasti
Kedukan Bukit, Dapunta Hyang Sri Jayanaga memimpin pasukan sebanyak 20.000
tentara untuk menaklukkan daerah Ma-ta-dja (?), yaitu sebuah daerah yang sampai
sekarang masih menjadi perdebatan para ahli, di antaranya Coedes dan N.J. Krom
(Slamet, 2006:137). Jumlah 20.000 tentara
pada abad ke-7 tentu saja akan bertambah berkali lipat ketika Sriwijaya sanggup
meluaskan daerah taklukkan sampai ke Asia Tenggara. Kontrol wilayah juga bisa
dilakukan dengan pengerahan pasukan apabila diketahui ada penguasa wilayah yang
tidak tunduk terhadap Raja Sriwijaya.
Adapun raja-raja yang pernah memerintah di kerajaan
Sriwijaya adalah:
Ø
Dapunta Hyang Sri Jayanaga (683 M). Selama masa
pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang Sri Jayanaga telah menuliskan Prasasti
Kedukan Bukit (683 M), Talang Tuo (684 M), dan Kota Kapur. Selain itu, Dapunta
Hyang Sri Jayanaga juga menaklukkan Kerajaan Melayu dan Tarumanegara.
Ø
Indravarman (702 M).
Selama masa kepemimpinan Indravarman, dikirim utusan ke Tiongkok pada 702-716
M,dan 724 M.
Ø
Rudra Vikraman atau Lieou-t`eng-wei-kong (728 M). Selama
masa kepemimpinan Rudra Vikraman, dikirim utusan ke Tiongkok pada 728-748 M.
Ø
Dharmasetu (790 M).
Ø
Wisnu (795 M) dengan gelar Sarwarimadawimathana yang
artinya “pembunuh musuh-musuh yang
sombong tiada bersisa “ (775 M). Selama kepemimpinannya, Raja Wisnu memulai pembangunan
Candi Borobudur pada 770 M dan menaklukkan Kamboja Selatan.
Ø
Samaratungga (792 M). Selama kepemimpinan Raja Samaratungga,
Sriwijaya kehilangan daerah taklukannya di Kamboja Selatan pada 802 M.
Ø
Balaputra Sri Kaluhunan (Balaputradewa) (835 M). Raja ini
memerintahkan pembuatan biara untuk Kerajaan Cola di India dengan meninggalkan
Prasasti Nalanda.
Ø
Sri Udayadityawarman (960 M). Selama kepemimpinannya, Raja Sri Udayadityawarman mengirimkan utusan
ke Tiongkok pada 960 M.
Ø
Sri Wuja atau Sri Udayadityan (961 M). Selama
kepemimpinannya, Raja Sri Udayadityan mengirimkan utusan ke Tiongkok pada
961-962 M.
Hsiae-she (980 M). Selama kepemimpinannya, Raja Hsiae-she
mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 980-983 M.
Ø
Sri Cudamaniwarmadewa (988 M). Saat beliau memerintah,
terjadi penyerangan dari Jawa.
Ø
Sri Marawijayottunggawarman (1008 M). Selama
kepemimpinannya, Raja Sri Marawijayottunggawarman mengirimkan utusan ke
Tiongkok pada 1008 M.
Ø
Sumatrabhumi (1017 M). Selama kepemimpinannya, Raja
Sumatrabhumi mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 1017 M.
Ø
Sri Sanggramawijayottunggawarman (1025). Selama kepemimpinan
Raja Sri Sanggramawijayottunggawarman, Sriwijaya dapat dikalahkan oleh Kerajaan
Cola dan sang raja sempat ditawan.
Ø
Sri Deva (1028 M). Selama kepemimpinannya, Raja Sri Deva
mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 1028 M.
Ø
Dharmavira (1064 M).
Ø
Sri Maharaja (1156 M). Selama kepemimpinannya, Raja Sri
Maharaja mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 1156 M.
Ø
Trailokaraja Maulibhusana Varmadeva (1178 M). Selama
kepemimpinannya, Raja Trailokaraja Maulibhusana Varmadeva mengirimkan utusan ke
Tiongkok pada 1178 M.
·
Upaya Memperatahankan Kekuasaan
a. Hubungan
Diplomatik dengan Kerajaan lain
Sriwijaya juga mengadakan hubungan
diplomasi dengan Tiongkok, India, dan Cola. Seperti dikutip dalam buku
Sriwijaya (1996), hubungan diplomasi dengan jalan pengutusan antara Sriwijaya
dengan Tiongkok pertama kali terjadi pada 713 M dan 714 M. Pengiriman utusan
selanjutnya dilakukan pada 960 M, 962 M, 980 M, dan 983 M. Pada 992 M datang
kabar dari Kanton bahwa Sriwijaya sedang diserang tentara dari Jawa. Utusan
yang telah terlanjur berada di Tiongkok kemudian berangkat ke Campa akan tetapi
keberangkatan ke Sriwijaya dari Campa terpaksa dibatalkan karena peperangan
kembali berkobar di Sriwijaya. Atas terjadinya peperangan ini, utusan Sriwijaya
akhirnya kembali ke Tiongkok dan meminta kepada Kaisar Tiongkok untuk
menyatakan bahwa Sriwijaya berada dibawah perlindungan Tiongkok. Utusan kembali
dikirimkan oleh Sriwijaya pada 1003 (Slamet, 1996 :271-272).
Pada 1008 Raja Se-li-ma-la-pi (Sri
Marawi, yaitu Marawijaya) mengirimkan tiga utusan untuk mempersembahkan upeti
kepada kaisar Tiongkok (Slamet, 1996:272). Beberapa uraian di atas menjelaskan
bahwa telah terjadi hubungan segitiga antara Sriwijaya-Tiongkok-India (yang diwakili oleh Marawijaya). Hubungan ini
semata-mata dilakukan oleh Sriwijaya karena usaha penggalangan kekuatan dalam
menghadapi serangan dari luar, misalnya saja ketika Sriwijaya mendapat serangan
dari Jawa pada 992 M.
b . Perdagangan
Di dunia perdagangan,
Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni
dengan penguasaan atas selat Malaka dan selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa
Sriwijaya memiliki aneka komoditi seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh,
pala, kepulaga, gading, emas, dan timah yang membuat raja Sriwijaya sekaya
raja-raja di India. Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya
membeli kesetiaan dari vassal-vassalnya di seluruh Asia Tenggara.
Pada paruh pertama abad
ke-10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan
dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan negeri kaya
Guangdong, kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan
keuntungan dari perdagangan ini.
c.
Relasi dengan kekuatan
regional
Untuk memperkuat
posisinya atas penguasaan pada kawasan di Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin
hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara teratur mengantarkan
utusan beserta upeti.
Pada masa awal kerajaan
Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa
Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan
tersebut, pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang
bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga
kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.
Sriwijaya juga
berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda
berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara
kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan dinasti Chola di selatan India juga
cukup baik, dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya telah membangun
sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk
setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan di abad ke-11.
Kemudian hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana
raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya
pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma
tersebut. Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian
dari dinasti Chola, dari kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I
(Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts’i membantu perbaikan candi dekat Kanton pada
tahun 1079, pada masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching
Kuan dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.
d.
Ekspansi dan
Perluasan Wilayah Kekuasaan
Gambar :Wilayah Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya
Menurut Slamet Muljana,
alasan perluasan wilayah bagi Sriwijaya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat (Slamet, 1981:68). Maka berdasarkan alasan ini, dimulailah politik
perluasan wilayah oleh Sriwijaya yang mula-mula menaklukkan Bangka kemudian
Kerajaan Melayu di Jambi untuk mengambil alih peran sebagai penguasa lalu lintas perdagangan dan
pelayaran di Selat Malaka. Penguasaan atas Bangka dan Kerajaan Melayu terjadi
antara tahun 672-682 M atau akhir abad ke-7 (Slamet, 1981:67).
Menurut Slamet Muljana
(1981), pada 682 M Sriwijaya meluaskan kekuasaan dengan menaklukkan daerah
Minanga Tamwan, yaitu sebuah daerah di sebelah barat laut Melayu. Penaklukkan
terhadap Minanga Tamwan ini ditulis dalam Prasasti Kedukan Bukit. Setelah
menundukkan Minanga Tamwan, perluasan kekuasaan selanjutnya mengarah ke utara
menuju pantai barat Semenanjung untuk menaklukkan Kedah yang dilakukan
kira-kira antara tahun 685-688 M. Setelah berhasil menaklukkan Kedah, Sriwijaya
kemudian berhasil menaklukkan Kerajaan Tulang Bawang yang terletak di Muara
Sungai Tulang Bawang, Lampung. Penaklukkan ini tertulis dalam Prasasti Palas
Pasemah. Pada 686 M kekuatan militer Sriwijaya melakukan ekspedisi penaklukan
ke Jawa. Ekspedisi ini sukses menaklukkan Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat.
Penaklukan terhadap Tarumanegara tertulis dalam Prasasti Kota Kapur. Pada abad
ke-8, Sriwijaya menaklukkan daerah Ligor yang terletak di pantai timur
Semenanjung (Slamet, 1981:69, 74-75, dan 79).
Dimulai dari abad ke-7
sampai 12, wilayah kekuasaan Sriwijaya telah membentang dari Sumatera sampai ke
Asia Tenggara.Disebutkan bahwa pada abad ke-12, wilayah imperium Sriwijaya
telah meliputi Sumatera, Sri Lanka, Semenanjung Melayu, Jawa Barat, Sulawesi,
Maluku, Kalimantan, dan Filipina. Kekuasaan yang sangat besar ini menempatkan
Sriwijaya sebagai sebuah imperium yang hebat sampai abad ke-13 .
Sedangkan dalam berita
Tiongkok yang ditulis oleh Chau Ju-Kua dalam Marwati & Nugroho (1993), disebutkan bahwa pada permulaan abad
ke-13, Sriwijaya telah memiliki sedikitnya 15 daerah taklukan. Daerah taklukan
Kerajaan Sriwijaya tersebut adalah: Pang-fang (Pahang), Teng-ya-nung
(Trengganu), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Ki-lan-tan (Kelantan), Fo-lo-an
(Kuala Berang), Ji-lo-ting (?), Cheng-mai (?), Pa-t`a (?), Tan-ma-ling
(Tambralingga), Kia-lo-hi (Grahi), Pa-lin-fong (Palembang), Sun-to (Sunda),
Kien-pi (Kampe), Lan-wu-li (Lamuri), dan Si-lan (Ceylon) (Marwati &
Nugroho, 1993:70).
4.Kerajaan Mataram Kuno
(Budha)
Dari berbagai sumber diketahui bahwa ada tiga dinasti
yang berkuasa di kerajaan Mataram Kuno,yaitu Dinasti Sanjaya dan Dinasti
Syailendra yang berkuasa pada periode pusat kerajaan di Jawa Tengah dan Dinasti
Isyana yang berkuasa pada periode Pusat kerajaan di Jawa Timur yang biasa
disebut sebagai Kerajaan Medang.Dari ketiga dinasti tersebut yang
pemerintahannya bercorak Budha adalah Kerajaan Mataram Kuno yang dipegang oleh
dinasti Syailendra.
Gambar
:Peta Letak Kerajaan Mataram Kuno
·
Struktur Pemerintahan
Raja merupakan
pemimpin tertinggi Kerajaan Medang. Sanjaya sebagai raja pertama memakai gelar
Ratu. Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar
ini setara dengan Datu yang berarti "pemimpin". Keduanya merupakan
gelar Indonesia asli.Ketika Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra berkuasa,
gelar Ratu dihapusnya dan diganti dengan gelar Sri Maharaja. Kasus yang sama
terjadi pada Kerajaan Sriwijaya di mana raja-rajanya semula bergelar Dapunta
Hyang, dan setelah dikuasai Wangsa Sailendra juga berubah menjadi Sri
Maharaja.Pemakaian gelar Sri Maharaja di Kerajaan Mataram Kuno tetap
dilestarikan oleh Rakai Pikatan meskipun Wangsa Sanjaya berkuasa kembali. Hal
ini dapat dilihat dalam daftar raja-raja versi prasasti Mantyasih, di mana hanya
Sanjaya yang bergelarSangRatu.
Jabatan tertinggi sesudah raja ialah Rakryan Mahamantri i Hino atau kadang ditulis Rakryan Mapatih Hino. Jabatan ini dipegang oleh putra atau saudara raja yang memiliki peluang untuk naik takhta selanjutnya
Jabatan tertinggi sesudah raja ialah Rakryan Mahamantri i Hino atau kadang ditulis Rakryan Mapatih Hino. Jabatan ini dipegang oleh putra atau saudara raja yang memiliki peluang untuk naik takhta selanjutnya
Jabatan sesudah
Mahamantri i Hino secara berturut-turut adalah Mahamantri i Halu dan Mahamantri
i Sirikan. Pada zaman Majapahit jabatan-jabatan ini masih ada namun hanya
sekadar gelar kehormatan saja. Pada zaman Wangsa Isana berkuasa masih ditambah
lagi dengan jabatan Mahamantri Wka dan Mahamantri Bawang.Jabatan tertinggi di Mataram
kuno selanjutnya ialah Rakryan Kanuruhan sebagai pelaksana perintah raja.Dalam
hal ini dapat disimpulkan bahwa ketika wangsa atau dinasti Syailendra berkuasa
terdapat semacam akulturasi dalam system pemerintahan yang berlaku di Kerajaan Mataram
Kuno itu sendiri.
Gambar:Silsilah Raja Kerajaan Mataram Kuno
Adapun
Raja-raja yang pernah berkuasa, yaitu :
1. Bhanu
(752 – 775 M)
Raja Banu
merupakan Raja pertama sekaligus pendiri Wangsa Syailendra
2. Wisnu
(775 – 782 M)
Pada masa pemerintahannya, Candi Borobudur mulai dibangun
tepatnya 778 M.
3. Indra
(782 – 812 M)
Pada masa pemerintahannya, Raja Indra membuat Klurak yang
berangka tahun 782 M, di daerah Prambanan
4. Samaratungga
( 812 – 833 M)
Raja Samaratungga berperan menjadi pengatur segala
dimensi kehidupan rakyatnya. Sebagai raja Mataram Budha, Samaratungga sangat
menhayati nilai agama dan budaya Pada masa pemerintahannya Candi Borobudur
selesai dibangun.
5. Pramodhawardhani
(883 – 856 M)
Pramodhawardhani
adalah putri Samaratungga yang dikenal cerdas dan cantik. Beliau bergelar Sri
Kaluhunan, yang artinya seorang sekar kedhaton yang menjadi tumpuan harapan
bagi rakyat. Pramodhawardhani kelak menjadi permaisuri raja Rakai Pikatan, Raja
Mataram Kuno dari Wangsa Sanjaya.
·
Perkawinan Politik (Akulturasi Agama dalam Hegemoni
Kekuasaan)
Awal
pemerintahan dinasti Syailendra pada Kerajaan Mataram Kuno terletak pada masa
pemerintahan Raja Bhanu.Dinasti Sanjaya
terdesak oleh keturunan Dinasti Sanjaya,tetapi pergeseran kekuasaan tersebut
tidak diketahui secara pasti.Adanya pergeseran atau pengambilalihan kekuasaan
tersebut dibuktikan dengan banyaknya prasasti dan candi yang menyebutkan
tentang Dinasti Syailendra.Namun,bukan berarti setelah pergeseran kekuasaan
tersebut dinasti Sanjaya lantas padam tetapi pemerintahan Dinasti Sanjaya tetap
berlangsung dan beriringan dengan pemerintahan Dinasti Syailendra.Dalam hal ini
ternyata diketahui bahwa pada abad ke-8 dan 9 ,Dinasti Sanjaya wilayah
kekuasaannya terletak di Jawa Tengah Utara yang dibuktikan dengan corak candi
yang beraliran Hindu,sedang Dinasti Syailendra wilayah kekuasaannya terletak di
Jawa Tengah Selatan dengan dibuktikan penemuan candi-candi yang bercorak Budha
Mahayana yang sudah condong ke Tantrayana.(Soekmono,1973:42-46)
Pada
pertengahan awal abad ke-9,kedua Dinasti tersebut bersatu dengan adanya sebuah
perkawinan politik antara Rakai Pikatan(Hindu) dan Pramodawardhani
(Budha).Dengan perkawinan tersebut berari ada semacam akulturasi politik yang
ditujukan untuk usaha hegemoni kekuasaan dan upaya perebutan kembali kekuasaan
dinasti Sanjaya.Hal ini dapat dibuktikan karena setelah pernikahan tersebut
hegemoni Dinasti Syailendra akhirnya digantikan oleh Dinasti Sanjaya.Meskipun
pada akhirnya terdapat keteraturan dan sebuah toleransi beragama yang kondusif
setelah pernikahan kedua duta dinasti.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
·
Pengaruh agama Budha sampai
di Indonesia dibawa oleh para biksu atau pendeta-pendeta Budha dengan dua misi
yaitu selain untuk berdagang juga untuk menyebarkan agama Budha
·
Secara umum system
pemerintahan dan struktur pemerintahan pada kerajaan-kerajaan bercorak Budha
terdapat persamaan dengan system pemerintahan pada kerajaan Hindu
·
Pada akhir pengaruh Budha
di Indonesia terdapat semacam akulturasi kekuatan politik antara Hindu dan
Budha melalui peerkawinan politik
3.2 Kritik dan Saran
·
Minat untuk mempelajari
secara mendalam mengenai kerajaan-kerajaan bercorak Budha hendaknya
ditingkatkan untuk menambah khazanah sejarah Indonesia
·
Kekuatan-kekuatan politik
yang tercermin dalam upaya kesatuan dan keutuhan kerajaan Budha hendaknya
diterapkan pada system politik zaman sekarang sebagai hikmah dan pelajaran
kehidupan yang berarti.
DAFTAR
PUSTAKA
Dr.Purwadi, M.Hum, 2007. Sistem Pemerintahan Kerajaan
Jawa Klasik. Medan: Pujakesuma
Marwati Djoenoed Poesponegoro
& Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia II.
Cetakan ke-4.
Jakarta: Balai Pustaka.
Sartono Kartodirdjo. 1999. Pengantar
Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emporium sampai Imperium. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Slamet
Muljana . 2006. Sriwijaya. Cetakan ke-II. Yogyakarta: LkiS.
Soekmono,Drs.R.1973.Pengantar
Sejarah Kebudayaan Indonesia 2.Cetakan ke-4.Yogyakarta:Kanisius
Sumber Internet
Anonim.2012.Mengenal
Kerajaan Mataram.Diakses di <http://afghanaus.com/2012/03/05/mengenal-kerajaan-mataram.html>pada
11 Maret 2012 pukul 12.36 AM
Aswadi,Rahmad.2010.Sejarah
dan Pariwisata Jambi.Diakses di <http://blog.djarumbeasiswaplus.org/aswadirahmad/2010/12/sejarah-dan-prawisata-jambi.html>pada
9 Maret 2012 pukul 11.00 AM
Fetriyan.2009. Kerajaan Kalingga atau Holing.Diakses
di <http://www.zimbio.com/member/fetriyan/articles/bLUp0xzvVEU/Kerajaan+Holing.html>
pada 9 Maret 2012 pukul 11.00 AM
Tasman,Aulia.2009.Sejarah Kerajaan
Melayu Kuno.Diakses di <http://auliatasman.blogspot.com/2009/05/sejarah-kerajaan-melayu-kuno.html>pada
11 Maret 2012 pukul 12.36 AM
Lampiran
A.Peninggalan Kerajaan Melayu Kuno
Dari kiri kekanan: Gambar 1:Candi Astano Gambar 2:Candi Gedong 1
Gambar 3 :Candi Kembar Batu Gambar 4:Candi Muara Jambi
Gambar
5 :Komplek Candi Muara Jambi
B.Peninggalan Kerajaan Kalingga (Holing)
Gambar
6:Candi Tukmas
C.Peninggalan Kerajaan Sriwijaya
Gambar 7 :Prasasti
Kedukan Bukit Gambar 8:Prasasti
PalasPasemah
Gambar
9 :Prasasti Telaga Batu
D.Peninggalan
Kerajaan Mataram Kuno
Gambar 10 :Candi
Borobudur Gambar
11:Candi Ngawen
Gambar 12:Candi
Pawon
Gambar 13 :Candi Ratu Boko
Gambar
14:Prasasti Kalasan
Gambar 15:Prasasti Kelurak
Gambar 16:Prasasti Sojomerto